A. FILSAFAT HEGEL TENTANG MORALITAS DAN STRUKTUR SOSIAL
a.
Struktur Sosial dan Moralitas Hegelian
Struktur sosial yang oleh Hegel disebut sittlichkeit ( yang
berartikan sebagai tatanan sosial-moral). Sittlichkeit pada dasarnya
ditentukan oleh tiga lingkup hidup manusia: keluarga, masyarakat luas, dan
negara. Ketiganya menentukan, melalui adat istadat, kebiasaan, dan hukum,
bagaimana individu harus bertindak sebagai makhluk moral. Namun tatanan sosial
yang berhak menjadi acuan bagi moralitas individu adalah tatanan yang
bersyarat: yaitu rasional, tatanan yang sudah mewadahi otonomi dan martabat
manusia, mengakui kebebasan penuh subjektivitas manusia. Individu baru mencapai
kemerdekaannya secara penuh apabila setiap hendak bertindak tidak selalu harus
mengadakan pertimbangan baru tentang tindakannya. Individu yang bertindak
sesuai dengan struktur-struktur itu berarti merealisasikan kebebasannya
sendiri. Namun bila tatanan itu merosot ke otoritarianisme, tidak mengindahkan
kebebasan dan otonomi individu, maka manusia harus tetap mempertahankan
moralitasnya yang otonom dalam dirinya. Hegel tetap mengakui bahwa suara hati
adalah hukum terakhir bagi individu. Tak ada jalan kembali ke moralitas hukum
yang legalistis.[1]
Moralitas adalah negasi dialektik hukum. Subjek yang bermoral tidak
tunduk kepada hukum yang dipasang dari luar, melainkan kepada hukum yang
disadari dalam hati. Dalam moralitas manusia bebas dari heteronomi,
menjadi otonomi. Moralitas adalah lingkaran kehendak subjektif yang
mempertahankan diri secara otonom berhadapan dengan dunia luar. Maka kebebasan
sekarang tidak lagi terikat pada benda, hak milik, melainkan hanya dapat
menjadi nyata dalam kehendak sebagai kehendak subjektif.
Inti
filsafat Hegel adalah gerak perkembangan ke arah kebebasan yang semakin besar.
Kebebasan manusia bukan sekadar sikap otonomi batin, melainkan merupakan
hakikat seluruh kerangka sosial di dalamnya manusia merealisasikan diri. Ini
berarti bahwa kebebasan harus terungkap dalam tiga lembaga yang satu sama lain
berhubungan secara dialektis, yaitu hukum, moralitas individu, dan tatanan
sosial-moral (sittlichkeit). Tiga lembaga ini merupakan tiga tahap pengembangan
gagasan kehendak yang pada dirinya sendiri dan bagi dirinya sendiri bebas.
b. Moralitas Hegel
Moralitas bagi Hegel masih abstrak karena hanya ada dalam kebatinan murni dan
tidak mengacu pada struktur-struktur objektif dunia luar. Tidak cukup
mengatakan kepada seseorang, ikutilah suara hatimu, karena suara hati sendiri
masih memerlukan orientasi. Suara hati hanya membunyikan perintah untuk
melakukan apa yang benar. Tapi yang benar sendiri itu apa? Menurut Hegel yang
benar adalah yang rasional, dan yang rasional itu digariskan melalui struktur
realitas sosial, Hegel menempatkan diri atas paham moralitas otonom yang
dikembangkan Kant. Namun ia sekaligus kritis terhadap Kant. Baginya posisi Kant
adalah abstrak karena tidak memperhatikan bahwa manusia dengan otonominya
selalu sudah bergerak dalam ruang yang ditentukan oleh struktur sosial yang
mewadahi tuntunan moral. Namun ia tidak sekedar kembali ke Aristoteles. Ia
kembali, tetapi di satu level dialektis lebih tinggi. Dengan menempatkan
fenomen moralitas ke dalam kerangka sebuah filsafat sejarah yang luas, Hegel
mampu mengatasi keabstrakan Kant dan sekaligus menempatkan legitimasi struktur sosial
itu ke tingkat yang lebih tinggi. Sittlichkeit dipahaminya sebagai tatanan
sosial moral yang terwujud dalam lembaga-lembaga kehidupan kemasyarakatan
manusia.[2]
[1] http://bermenschool.wordpress.com/2008/11/12/hegel-tentang-moralitas-dan-struktur-sosial/
(diakses, 1 Jun 2013). & Hendi,
Suhendi, Filsafat Umum (Dari Metologi
Sampai Teofilosofi). (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2008).
[2] Hendi,
Suhendi, Filsafat Umum (Dari Metologi
Sampai Teofilosofi). (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2008) & http://bermenschool.wordpress.com/2008/11/12/hegel-tentang-moralitas-dan-struktur-sosial/
(diakses, 1 Jun 2013).
0 komentar:
Posting Komentar