Makalah

PERBUATAN PENYERTAAN


Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Hukum Pidana Yang Dibimbing Oleh:
AMRULLAH, S.HI., LL.M.

Disusun Oleh:
KELOMPOK 4
HERA SUSANTI
141209627





JURUSAN S.J.S. (SYARI’AH JINAYAH WA SIYASAH)
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI AR-RANIRY
TAHUN AJARAN 2013/2014



KATA PENGANTAR
                Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah Hukum Pidana mengenai “ Perbuatan Penyertaan”.
               Tujuan Penulis menyusun makalah hukum pidana mengenai perbuatan penyertaan ini adalah untuk memaparkan serta menjelaskan, apa itu perbuatan penyertaan dalam hukum pidana.
               Isi makalah ini lebih mengarah kepada penjelasan mengenai aspek-aspek yang berkaitan dengan pembahasan mengenai perbuatan penyertan dalam hukum pidana. Yang menjadi mata kuliah pada semester ini.
               Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dosen hukum pidana yaitu, Bapak Amrullah, S.HI., LL.M. Yang telah memberikan tugas hukum pidana mengenai perbuatan penyertaan, serta membimbing penulis dalam proses pembuatan makalah pribadi tentang perbuatan penyertaan.
                Adapun saran yang membangun selalu penulis harapkan untuk memperbaiki kesalahan yang terdapat dalam pembuatan makalah ini. Semoga makalah ini dapat menjadi bacaan yang bermanfaat bagi siapa saja.
Banda Aceh, 25 April 2013

HERA SUSANTI
Kelompok 4


BAB I
PENDAHULUAN
1.1   Latar Belakang Masalah
            Banyak orang yang melakukan perbuatan dengan perantaraan orang lain, sedang perantara itu hanya digunakan sebagai alat. Dengan demikian ada dua pihak, yaitu pembuat langsung (manus ministra/auctor physicus), dan pembuat tidak langsung (manus domina/auctor intellectualis).
            Jika yang disuruh lakukan seorang anak kecil yang belum cukup umur maka tetap mengacu pada Pasal 45 dan Pasal 47 jo. UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak. Banyak sekarang terjadinya hal yang demikian dan memberatkan orang lain karena orang lain itu yang mengerjakannya

2.1  Rumusan Masalah
1.      Pengertian perbuatan penyertaan,
2.      Istilah Penyertaan dan penggolongan dalam penyertaan,
3.      Penyertaan menurut KUHP indonesia,
4.      Ajaran tentang penyertaan,
5.      Pertanggungjawaban pidana pembantu dalam perbuatan pidana,
6.      Penyertaan pada delik penyertaan,
7.      Penyertaan pada delik kealpaan,
8.      Batas bentuk penyertaan.


3.1  Tujuan Penulis
 Adapun tujuan dari penulisan makalah ini selain untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Hukum Pidana, tetapi juga untuk memberikan informasi dan pengetahuan kepada pembaca mengenai Pengertian, istilah, pembagian,  dan bagian apa saja yang ada di dalam Penyertaan.



BAB II
PEMBAHASAN
A.          Pengertian Penyertaan (deelneming)
    Secara umum penyertaan dapat diartikan sebagai suatu perbuatan (tindak pidana) yang dilakukan lebih dari satu orang. Kata penyertaan (deelneming) berarti turut sertanya seseorang atau lebih pada waktu seseorang lain melakukan tindak pidana. 
    Jadi, dari penjelasan tersebut dapat diambil suatu kesimpulan bahwasanya perbuatan penyertaan tersebut adalah pengertian yang meliputi semua bentuk turut serta/ terlibatnya orang-orang sehingga melahirkan suatu tindak pidana. Orang-orang yang terlibat dalam kerjasama yang mewujudkan tindak pidana tersebut, masing-masing dari mereka berbeda satu dengan yang lain, Tetapi dari perbedaan-perbedaan yang ada pada masing-masing itu terjalin suatu hubungan yang sedemikian rupa eratnya dimana perbuatan yang satu menunjang perbuatan yang lain, yang semuanya mengarah pada satu yaitu terwujudnya tindak pidana.

B.   Istilah Penyertaan
             Beberapa Istilah penyertaan, yaitu:
1.      Turut campur dalam peristiwa pidana(Tresna)
2.      Turut berbuat delik (Karni)
3.      Turut serta (Utrecht)
4.      Delneming (Belanda); Compicity (Inggris); Teilnahme/Tatermehrhaeit (Jerman); Participation (perancis).[[1]]

C.   Penyertaan Menurut KUHP Indonesia
             Penyertaan menurut KUHP. Penyertaan diatur dalam Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, penyertaan dibagi menjadi dua pembagian besar, yaitu:

1.      Pembuat/ Dader (Pasal 55) yang terdiri dari :
a.         Pelaku (pleger);
b.        Yang menyuruh melakukan (doenpleger);
c.         Yang turut serta (medepleger);
d.        Penganjur (uitlokker).
2.                Pembantu/ Medeplichtige (Pasal 56) yang terdiri dari :
a.         Pembantu pada saat kejahatan dilakukan;
b.        Pembantu sebelum kejahatan dilakukan;[[2]]

1.           Pelaku (Pleger)
       Pelaku adalah orang yang melakukan sendiri perbuatan yang memenuhi perumusan delik dan dipandang paling bertanggung jawab atas kejahatan. Kedudukan pleger dalam Pasal 55 KUHP: Janggal karena pelaku bertanggung jawab atas perbuatannya ( pelaku tunggal) dapat dipahami:
1)   Pasal 55 menyebutkan siapa-siapa yang disebut sebagai pembuat, jadi pleger masuk
didalamnya (Hazewinkel Suringa).
2)   Mereka yang bertanggung jawab adalah yang berkedudukan sebagai pembuat (Pompe).

2.           Orang yang menyuruh melakukan (Doenpleger)
     Doenpleger adalah orang yang melakukan perbuatan dengan perantara orang lain, sedang perantara itu hanya digunakan sebagai alat. Dengan demikian, ada dua pihak, yaitu pembuat langsung (manus ministra/auctor intellectualis), dan pembuat tidak langsung (manus domina/auctor intellectualis).
Unsur-unsur pada doenpleger adalah:
a.    Alat yang dipakai adalah manusia;
b.    Alat yang dipakai berbuat;
c.    Alat yang dipakai tidak dapat dipertanggngjawabkan.
 Sedangkan hal-hal yang menyebabkan alat (pembuat materiil) tidak dapat dipertanggungjawabkan, adalah:
a.    Bila ia tidak sempurna pertumbuhan jiwanya (pasal 44);
b.    Bila ia berbuat karena daya paksa (pasal 48);
c.    Bila ia berbuat karena perintah jabatan yang tidak sah (pasal 51 ayat (2));
d.   Bila ia sesat (keliru) mengenai salah-satu unsur delik;
e.    Bila ia tidak mempunyai maksud seperti yang diisyaratkan untuk kejahatan yang
bersangkutan.
Jika yang disurulakukan seorang anak kecil yang belum cukup umur, maka tetap mengacu pada pasal 45dan pasal 47 jo. UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang peradilan anak.
3.           Orang yang turut serta (Medepleger)
 MvT mengemukakan bahwa orang yang turut melakukan adalah orang yang dengan sengaja turut berbuat dalam melakukan suatu delik. Oleh karena itu, kualitas masing-masing peserta tindak pidana adalah sama.
Turut mengerjakan sesuatu, yaitu:

a.    Mereka memenuhi semua rumusan delik;
b.    Salah-satu memenuhi semua rumusan delik;
c.    Masing-masing hanya memenuhi sebagian rumusan delik.

 Syarat-syarat medepleger, antara lain:
a.    Ada kerjasama secara sadar, kerja sama dilakukan secara sengaja untuk bekerjasama
dan ditujukan kepada hal yang dilarang undang-undang;
b.    Ada pelaksana bersama secara fisik, yang menimbulkan selesainya delik yang
 bersangkutan.

Kerja sama secara sadar:
a.    Adanya pengertian antara peserta atas suatu perbuatan yang dilakukan;
b.    Untuk bekerjasama;
c.    Ditujukan kepada hal yang dilarang oleh undang-undang.
Kerjasama/pelaksanaan bersama secara fisik: Kerjasama yang erat dan langsung atas suatu perbuatan yang langsung menimbulkan selesainya delik yang bersangkutan.
4.           Penganjur (uitlokker)
Penganjur adalah orang yang menggerakkan orang lain untuk melakukan suatu tindak pidan dengan menggunakan sarana-sarana yang ditentukan oleh undang-undang secara limitatif, yaitu memberi atau menjanjikan sesuatu, menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, kekerasan, ancaman, atau penyesatan, dengan memberikan kesempatan, sarana, atau keterangan (Pasal 55 ayat (1) angka 2 KUHP).
Penganjur (uitloken) mirip dengan menyuruhmelakukan (doenplegen), yaitu melalui perbuatan orang lain sebagai perantara. Namun perbedaannya terletak pada:
a.    Pada penganjuran, menggerakkan dengan sarana-sarana tertentu (limitatif) yang tersebut dalam undang-undang (KUHP), sedangkan menyuruh melakukan menggerakkannya dengan sarana yang tidak ditentukan;
b.    Pada penganjuran, pembuat materiil dapat dipertanggungjawabkan, sedang dalam
menyuruhkan pembuat materiil tidak dapat dipertanggungjawabkan.

             Penggerakan menurut doktrin, antara lain:
a.    Penggerakan yang sampai taraf percobaan (uitlikking bijpoging);
b.    Penggerakan dimana perbuatan pelaku hanya sampainpada taraf percobaan saja;
c.    Penggerakan yang gagal (mislucke uitlokking);
d.   Pelaku tadinya tergerak untuk melakukan delik, namun kemudian mengurungkan
niat tersebut;
e.    Penggerak tanpa akibat (zonder gevold gebleiben uitlokking);
f.     Pelaku sama sekali tidak tergerak untuk melakukan delik.

 Syarat penganjuran yang dapat dipidana, antara lain;
a.    Ada kesengajaan menggerakan orang lain;
b.    Menggerakkan dengan sarana/upaya seperti tersebut limitatif dalam KUHP;
c.    Putusan kehendak pembuat meteriil ditimbulkan karena upaya-upaya tersebut;
d.   Pembuat materiil melakukan/mencoba melkukan tindak pidana yang dianjurkan;
e.    Pembuat materiil dapat dipertanggungjawabkan. Penganjuran yang gagal tetap
dipidana berdasarkan pasal 163 KUHP.


5.           Pembantuan (Medeplichtige)
 Sebagaimana disebutkan dalam pasal 56 KUHP, pembantuan ada dua jenis;
1)   Pembantuan pada saat kejahatan dilakukan. Cara bagaimana pembantunya tidak disebutkan dalam KUHP. ini mirip dengan medeplegen (turut serta), namun perbedaannya terletak pada:
a.    Pembantu perbuatannya hanya bersifat membantu/menunjang, sedang pada turut serta merupakan perbuatan pelaksanaan;
b.    Pembantuan, pembantu hanya sengaja memberi bantuan tanpa disyaratkan harus kerjasama dan tidak bertujuan/berkepentingan sendiri, sedangkan dalam turut serta,orang yang turut serta sengaja melakukan tindak pidana, dengan cara bekerjasama dan mempunyai tujuan sendiri;
c.    Pembantuandalma pelanggaran tidak dipidana (pasal 60 KUHP), sedangkan dalam turut serta dalam pelanggaran tetap dipidana;
d.   Maksimum pidana pembantu adalah maksimum pidana yang bersangkutan dikurangi sepertiga, sedangkan turut serta dipidana sama.

2)   Pembantuan sebelum kejahatan dilakukan, yang dilakukan dengan cara memberi kesempatan, sarana atau keterangan. Ini mirip dengan penganjuran (uitlokking).  
Perbedaan pada niat/kehendak, pada pembantu kehendak jahat materiil sudah ada sejak semula/ tidak ditimbulkan oleh pembantu, sedangkan dalam penganjuran, kehendak melakukan kejahatan pada pembuat meteriil ditimbulkan oleh si penganjur.[[3]]

D.   Ajaran Tentang Penyertaan
      Masalah penyertaan (deelneming) diatur dalam buku pertama tentang aturan umum, bab V pasal 55 sampai dengan pasal 62 KUHP.
     Ajaran tentang penyertaan ini lahir pada abad ke 18, dipelopori oleh Von Fauerbach yang menemukan suatu paham bahwa dalam mengusut tindak pidana harus dibedakan antara pelaku dan peserta. Yang dimaksud dengan pelaku adalah orang atau orang-orang yang memegang peranan utama dalam pelaksanaan suatu tindak pidana sedangkan peserta adalah orang atau orang-orang yang ikut melakukan perbuatan yang pada dasarnya membantu atau melancarkan terlaksananya tindak pidana tersebut. Sebelum abad ke18, tidak dipersoalkan peranan seseorang dalam suatu tindak pidana itu, apakah ia itu sebagai pelaku atau hanya sebagai peserta.[[4]]

E.   Pertanggungjawaban Pembantu Dalam Perbuatan Pidana
     Berbeda dengan Pertanggungjawaban pembuat yang semuanya dipidana sama dengan pelaku, Akan tetapi, pembantu dipidana lebih ringan daripada pembuatnya, yaitu dikurangi sepertiga dari ancaman maksimal pidana yang dilakukan (pasal 57 ayat (1)). Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup, pembantu dipidana penjara maksimal 15 tahun.
 Namun ada beberapa catatan pengecualian :
a.     Pembatu dipidana sama berat dengan pembuat,yaitu pada kasus tindak pidana:
1)   Membantu merampas kemerdekaan (Pasal 333 ayat (4)) dengan cara memberi
 tempat untuk perampasan kemerdekaan;
2)   Membantu menggelapkan uang/surat oleh penjabat(Pasal 415);
3)   Meniadakan surat-surat penting (Pasal 417).
b.    Pembantu dipidana lebih berat daripada pembuat, yaitu tindak pidana:
1)   Membantu menyembunyikan barang barang titipan hakim (Pasal 231 ayat (3));
2)   Dokter yang membantu menggugurkan kandungan (Pasal 349).
     Sedangkan dalam pidana tambahan bagi pembantu adalah sama dengan pembuatnya (Pasal 57 ayat (3)) dan Pertanggungjawaban pembantu adalah berdiri sendiri, tidak digantungkan pada pertanggungjawaban pembuat.[[5]]


F.    Penyertaan Pada Delik Penyertaan
Perbuatan penyertaan pada penyertaan (Deelneming Aan Deelnemingshandelingen), misalnya :
1.      Membujuk untuk membujuk (Pasal 55 jo 55)
2.      Membujuk untuk membantu (pasal 55 jo. 56)
3.      Membantu untuk menganjurkan (Pasal 55 jo.55).

G.  Penyertaan Pada Delik Kealpaan
Misal:
1.    A memberi gunting kepada B yang katanya untuk menggunting kain, tetapi ternyata digunakan oleh B untuk mencuri atau membunuh.
2.    Pada waktu B akan memasuki rumah si C dengan maksud mencuri, iya berkelakuan seolah-olah (pura-pura) kehilangan kunci rumah. A yang pada waktu itu lewat dan sama sekali tidak tahu bahwa B berdiri dimuka rumah orang lain dan telah merencanakan untuk mencuri, menolong B membuka kaca  jendela sehinga B dapat masuk kerumah C.
Dalam contoh-contoh diatas, menurut Vos, A tidak dapat di pidana karena untuk “membujuk” atau “membantu” menurut hukum pidana positif harus ada unsur sengaja.[[6]]

H.  Bentuk-Bentuk Penyertaan
 Dalam bab V KUHP yang ditentukan mengenai penyertaan terbatas hanya sejauh yang tercatum dalam pasal 55 sampai dengan 60 yang pada garis besarnya berbentuk penyertaan dalam arti sempit (Pasal 55) dan pembantu (56 dan 59), bentuk-bentuknya diperinci sebagai berikut:
a.       Dua orang atu lebih bersama-sama (berbarengan) melakukan tindak pidana,
b.      Ada yang menyuruh (dan ada yang disuruh) melakukan suatu tindak pidan,
c.       Ada yang melakukan dan ada yang turut serta melakukan tindak pidan,
d.      Ada yang menggerakkan dan ada yang digerakkan dengan syarat tertentu untuk melakukan tindak pidana.
e.       Pengurus-pengurus, anggota-anggota badan pengurus atau komisaris-komisaris yang dipraanggakan turut campur dalam suatu pelanggaran tertentu.
f.       Ada petindak (dader) dan ada pembantu untuk melakukan suatu kejahatan.
Beberapa bentuk penyertaan dalam pengertian luas tidak masuk dalam ketentuan bab V, misalnya mereka yang merencanakan kejahatan seperti dalam pasal 104-108 jo.Pasal 110 ayat 2 ke-4, sesorang yang menyembunyikan petindak (Pasal 221), pria dan wanita yang melakukan persetubuhan diketahui dari hasil kejahatan (Pasal 480). Bentuk-bentuk penyertaan tersebut adalah merupakan tindak pidana tersendiri.
Mengenai bentuk-bentuk dari penyertaan apabila ditinjau dari sudut peserta akan ditemukan variasi sebagi berikut:
a.       Penyertaan yang satu dan lainnya sama-sama memenuhi unsur tindak pidana,
b.      Penyertaan yang (turut) melakukan tindak pidana itu, tidak mengetahui bahwa tindakannya merupakan tindak pidana, atau ia terpaksa melakukannya dan sebagainya (Manus ministra)
c.       Penyertaan benar-banarsadar dan langsung turut serta untuk melkukan tindak pidana (Medeplegen),
d.      Penyertaan melkukan tindak pidana karena adanya suatu keuntungan baginya atau ia dipermudah untuk melakukannya,
e.       Ia dipandang sebagai penyerta dalam suatu pelanggaran karena ia adalah pengurus dan sebaginya.
f.       Penyertaan hanyalah sekedar membantu saja,
Menentukan bentuk hubungan dari peserta-peserta tersebut penting artinya tidak menentukan pertanggungjawaban pidana dari masing-masing peserta.





[1]. Bung Fajri, “Penyertaan dengan Kealpaan (Culpose deelneming)” Kitab Pidana, (http://kitabpidana.blogspot.com/2012/04/penyertaan.html. diakses 19 April 2013).
[2]. Teguh Prasetyo, Hukum Pidana (Jakarta: PT Rajagrfindo Persada,2012), 205.
[3] Teguh Prasetyo, Hukum Pidana (Jakarta: PT Rajagrfindo Persada,2012), 205.
[4] Mangara, “ Penyertaan Dalam tindak pidana (Deelneming)” Ajaran tentang penyertaan, (http://mangarahukum.blogspot.com/2011/04/penyertaan-dalam-tindak-pidana.html Diakses 19 April 2013).
[5]).  Teguh Prasetyo, Hukum Pidana (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2012), 205.
 Soenarto soerodibroto, KUHP dan KUHAP (Jakarta: PT Rajagrafindo, 2007), 50.
[6]). Bung Fajri, “Penyertaan dengan Kealpaan (Culpose deelneming)” Kitab Pidana, (http://kitabpidana.blogspot.com/2012/04/penyertaan.html. diakses 12 April 2013).



Daftar Pustaka
Prasetyo, Teguh. 2012. Hukum Pidana. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Limitang, P.A.F. 1990. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung : Sinar Baru
Poernomo, Bambang. 1982. Hukum Pidana. Jakarta: PT Bina Aksara.
Soerodibroto, Soenarto. 2007. KUHP dan KUHAP. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Bung Fajri, “Penyertaan dengan Kealpaan (Culpose deelneming)” Kitab Pidana, (http://kitabpidana.blogspot.com/2012/04/penyertaan.html. diakses 12 April 2013).
Mangara, “ Penyertaan Dalam tindak pidana (Deelneming)” Ajaran tentang penyertaan, (http://mangarahukum.blogspot.com/2011/04/penyertaan-dalam-tindak-pidana.html Diakses 19 April 2013).
                                      




0 komentar:

Posting Komentar