Periode Taqlid

1.      Pengertian Taqlid
        Taqlid berasal dari bahasa Arab “qallada”, “yuqallidu”, “taqliidan”, yang mempunyai arti banyak: mengalungi, meniru, mengikuti. Sedangkan para ulama fiqih mengartikan taqlid sebagai penerimaan perkataan seseorang sedang engkau tidak mengetahui dari mana asal perkataan itu. Dari defenisi di atas terdapat dua unsur yang perlu diperhatikan dalam pembicaraan taqlid, yaitu:
a.       Menerima atau mengikuti suatu perkataan seseorang
b.       Perkataan tersebut tidak diketahui dasarnya, apakah ada dalam Al-Qur’an dan hadits tersebut.

2.      Periode Taqlid
 Periode taqlid adalah periode dimana semangat ijtihad mutlak para ulama sudah pudar dan berhenti. Semangat kembali kepada sumber-sumber pokok tasyri’, dalam rangka menggali hukum-hukum dari teks al-Quran dan Sunnah dan semangat mengistimbatkan hukum-hukum terhadap suatu masalah yang belum ada ketetapan hukumnya dari nash dengan menggunakan dalil-dalil syara’, sudah pudar dan berhenti. Mereka hanya mengikuti hukum-hukum yang telah dihasilkan oleh imam-imam mujtahid terdahulu.
 Periode taqlid mulai sekitar pertengahan abad IV H/X M. Pada masa ini pula terdapat beberapa faktor, yaitu faktor politik, intelektual, moral, dan sosial yang mempengaruhi kebangkitan umat Islam dan menghalangi aktivitas mereka dalam pembentukan hukum atau perundang-undangan hingga terjadinya kemandekan. Gerakan ijtihad dan upaya perumusan undang-undang sudah berhenti. Semangat kebebasan dan kemerdekaan berpikir para ulama sudah mati. Mereka tidak lagi menjadikan al-Quran dan Sunnah sebagai sumber utama, akan tetapi justru mereka sudah merasa puas dengan berpegang kepada fiqh imam-imam mujtahid terdahulu, yakni Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, Ahmad bin Hanbal dan rekan-rekannya. Mereka mempersempit ruang cakrawala pikiran mereka pada lingkungan terbatas mengenai cabang-cabang hukum dan ushulnya dari mazhab para imam mujtahid tersebut. Mereka mengharamkan diri mereka sendiri keluar dari batas-batas lingkungan tersebut. Mereka mencurahkan segenap kemampuan mereka untuk memahami kata-kata dan ungkapan-unkapan para imam mujtahid mereka. Dan mereka tidak berusaha mencurahkan segenap kemampuannya untuk memahami nash-nash syariat dan prinsip-prinsipnya yang umum.
Dengan demikian, terhentilah upaya pembentukan hukum, mereka hanya terfokus pada apa yang telah disampaikan dan dihasilkan oleh para imam mujtahid terdahulu.

3.    Sebab-sebab terhentinya gerakan ijtihad dan timbulnya Taqlid
 Ada 4 faktor penting yang menyebabkan terhentinya gerakan ijtihad dan suburnya kebiasaan bertaqlid kepada para imam terdahulu, yaitu:
1.    Terpecah-pecahnya Daulah Islamiyah ke dalam beberapa kerajaan yang antara satu dengan yang lainnya saling bermusuhan. Perpecahan ini menyebabkan mereka sibuk berperang, saling memfitnah, memasang berbagai perangkap, tipu daya dan pemaksaan dalam rangka meraih kemenangan dan kekuasaan. Situasi dan kondisi seperti ini melahirkan masa krisis umum sehingga semangat keilmuan dan kesenian menjadi lemah dan mandek. Dan krisis ini mempengaruhi terhentinya gerakan ijtihad pembentukan hukum.

2.    Pada pariode ketiga para imam Mujtahid terpolarisasi dalam beberapa golongan. Masing-masing golongan membentuk menjadi aliran hukum tersendiri dan mempunyai khittah tersendiri pula. Misalnya ada kalanya dalam rangka membela dan memperkuat mazhabnya masing-masing dengan cara mengemukakan argumentasi yang melegitimasi kebenaran mazhabnya masing-masing mengedepankan kekeliruan mazhab lain yang dinilai bertentangan dengan mazhabnya.

3.    Umat Islam mengabaikan sistem kekuasaan perundang-undangan, sementara di sisi lain mereka juga tidak mampu merumuskan peraturan yang bisa menjamin agar seseorang tidak ikut berijtihad kecuali yang memang ahli dibidangnya. Dengan demikian terjadilah krisis pembentukan hukum dan ijtihad, dimana praktik ijtihad dilakukan oleh orang-orang yang tidak mempunyai keahlian. Orang-orang bodoh mempermainkan nas-nas syariah, mereka berani berfatwa kepada umat islam. Muncullah berbagai macam fatwa hukum yang bertentangan antara satu dengan lainnya. Hal ini juga diikuti munculnya berbagai keputusan hukum, diperadilan-peradilan, sehingga terjadilah keputusan hukum diperadilan yang bertentangan dalam kasus yang sama dalam satu negeri. Semua ini terjadi dikalangan umat islam dan semuanya dianggap sebagai bagian dari hukum-hukum syariat. Situasi dan kondisi seperti ini membuat para ulama merasa khawatir sehingga mereka mengambil sikap kebijaksanaan hukum dengan cara menyatakan menutup pintu ijtihad dan mengikat para mufti (ahli fatwa) dan hakim supaya tetap saja mengikuti ketetapan-ketetapan hukum para imam mujtahid terdahulu. Inilah cara mereka mengatasi atau mengobati krisis pembentukan hukum Islam dengan cara yang bisa melahirkan sikap dan masa kebekuan. Ini terjadi pada akhir abad IV H.

4.    Para ulama dilanda krisis moral yang menghambat mereka sehingga tidak bisa sampai pada level orang-orang yang melakukan ijtihad. Di kalangan mereka terjadi saling menghasut dan egois mementingkan diri sendiri. Kalau diantara mereka berusaha mengetuk pintu ijtihad yang berarti akan membuka pintu kemasyhuran bagi dirinya dan merendahkan kedudukan rekan-rekan lainnya. Kalau ia berni berfatwa mengenai suatu masalah menurut pendapatnya, maka para ulama lainnya meremehkan pendapatnya dan merusak fatwanyadengan berbagai macam car. Oleh karena itu, para ulama berusaha untuk tetap menjaga diri dari adanya tipu daya rekan-rekannya dan dari celaan mereka dengan mengatakan bahwa dia itu adalah tukang taklid dan tukang kutip san dan bukan seoang mujtahiid. Dengan demikian, semnagt ijtihad mandek dan mati sehingga tidak ada yang lahir dan terangkat tokoh-tokoh dalam dunia fikih islam. Dan kepercayaan ulama terhadap dirinya sendiri menjadi lemah dan kurang. Demikian pula kepercayaan masyarakat kepadanya juga lemah dan kurang, sehingga dengan demikian, mereka bertaklid kepada mazhab-mazhab imam mujtahid terdahulu saja.[2]

4.      Hukum Taqlid
     Pada dasarnya para ulama sepakat mengharamkan taqlid karena dapat membuat manusia malas untuk berijtihad. Ada tiga hukum taqlid, yaitu:

a.       Taqlid yang haram
 Ulama sepakat haram melakukan taqlid ini. Taqlid ini ada tiga macam :
1.      Taqlid semata-mata mengikuti adat kebiasaan atau pendapat nenek moyang atau orang dahulu kala yang bertentangan dengan al Qur`an Hadits.
2.      Taqlid kepada orang atau sesuatu yang tidak diketahui kemampuan dan keahliannya, seperti orang yang menyembah berhala, tetapi ia tidak mengetahui kemampuan, keahlian, atau kekuatan berhala tersebut.
3.      Taqlid kepada perkataan atau pendapat seseorang, sedangkan yang bertaqlid mengetahui bahwa perkataan atau pendapat itu salah.
b.      Taqlid yang dibolehkan
 Dibolehkan bertaqlid kepada seorang mujtahid atau beberapa orang mujtahid dalam hal yang belum ia ketahui hukum Allah dan Rasul-Nya yang berhubungan dengan persoalan atau peristiwa, dengan syarat yang bersangkutan harus selalu berusaha menyelidiki kebenaran masalah yang diikuti itu. Jadi sifatnya sementara.
c.       Taqlid yang diwajibkan
 Wajib bertaqlid kepada orang yang perkataannya dijadikan sebagai dasar hujjah, yaitu perkataan dan perbuatan Rasulullah SAW.[3]
5.      Pendapat Imam Madzhab tentang Taqlid
·         Imam Abu Hanifah
Beliau merupakan cikal bakal ulama fiqh. Beliau mengharamkan orang mengikuti fatwa jika orang itu tidak mengetahui dalil dari fatwa itu.

·         Imam Malik bin Anas
 Beliau melarang seseorang bertaqlid kepada seseorang walaupun orang itu adalah orang terpandang atau mempunyai kelebihan. Setiap perkataan atau pendapat yang sampai kepada kita harus diteliti lebih dahulu sebelum diamalkan.

·         Imam asy Syafi`i (150-204 H)
 Beliau murid Imam Malik. Beliau mengatakan bahwa “ beliau akan meninggalkan pendapatnya pada setiap saat ia mengetahui bahwa pendapatnya itu tidak sesuai dengan hadits Nabi SAW.

·         Imam Hambali (164-241 H)
Beliau melarang bertaqlid kepada imam manapun, dan menyuruh orang agar mengikuti semua yang berasal dari Nabi SAW dan para sahabatnya. Sedang yang berasal dari tabi`in dan orang-orang sesudahnya agar diselidiki lebih dahulu. Mana yang benar diikuti dan mana yang salah ditinggalkan.








[2]. Abdul Wahab Khallaf, Sejarah Pembentukan Dan Perkembangan Hukum Islam (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), 112.
[3] Satria Effendi, Ushul Fiiqh (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,2005)

0 komentar:

Posting Komentar