Periode Taqlid

1.      Pengertian Taqlid
        Taqlid berasal dari bahasa Arab “qallada”, “yuqallidu”, “taqliidan”, yang mempunyai arti banyak: mengalungi, meniru, mengikuti. Sedangkan para ulama fiqih mengartikan taqlid sebagai penerimaan perkataan seseorang sedang engkau tidak mengetahui dari mana asal perkataan itu. Dari defenisi di atas terdapat dua unsur yang perlu diperhatikan dalam pembicaraan taqlid, yaitu:
a.       Menerima atau mengikuti suatu perkataan seseorang
b.       Perkataan tersebut tidak diketahui dasarnya, apakah ada dalam Al-Qur’an dan hadits tersebut.

2.      Periode Taqlid
 Periode taqlid adalah periode dimana semangat ijtihad mutlak para ulama sudah pudar dan berhenti. Semangat kembali kepada sumber-sumber pokok tasyri’, dalam rangka menggali hukum-hukum dari teks al-Quran dan Sunnah dan semangat mengistimbatkan hukum-hukum terhadap suatu masalah yang belum ada ketetapan hukumnya dari nash dengan menggunakan dalil-dalil syara’, sudah pudar dan berhenti. Mereka hanya mengikuti hukum-hukum yang telah dihasilkan oleh imam-imam mujtahid terdahulu.
 Periode taqlid mulai sekitar pertengahan abad IV H/X M. Pada masa ini pula terdapat beberapa faktor, yaitu faktor politik, intelektual, moral, dan sosial yang mempengaruhi kebangkitan umat Islam dan menghalangi aktivitas mereka dalam pembentukan hukum atau perundang-undangan hingga terjadinya kemandekan. Gerakan ijtihad dan upaya perumusan undang-undang sudah berhenti. Semangat kebebasan dan kemerdekaan berpikir para ulama sudah mati. Mereka tidak lagi menjadikan al-Quran dan Sunnah sebagai sumber utama, akan tetapi justru mereka sudah merasa puas dengan berpegang kepada fiqh imam-imam mujtahid terdahulu, yakni Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, Ahmad bin Hanbal dan rekan-rekannya. Mereka mempersempit ruang cakrawala pikiran mereka pada lingkungan terbatas mengenai cabang-cabang hukum dan ushulnya dari mazhab para imam mujtahid tersebut. Mereka mengharamkan diri mereka sendiri keluar dari batas-batas lingkungan tersebut. Mereka mencurahkan segenap kemampuan mereka untuk memahami kata-kata dan ungkapan-unkapan para imam mujtahid mereka. Dan mereka tidak berusaha mencurahkan segenap kemampuannya untuk memahami nash-nash syariat dan prinsip-prinsipnya yang umum.
Dengan demikian, terhentilah upaya pembentukan hukum, mereka hanya terfokus pada apa yang telah disampaikan dan dihasilkan oleh para imam mujtahid terdahulu.

3.    Sebab-sebab terhentinya gerakan ijtihad dan timbulnya Taqlid
 Ada 4 faktor penting yang menyebabkan terhentinya gerakan ijtihad dan suburnya kebiasaan bertaqlid kepada para imam terdahulu, yaitu:
1.    Terpecah-pecahnya Daulah Islamiyah ke dalam beberapa kerajaan yang antara satu dengan yang lainnya saling bermusuhan. Perpecahan ini menyebabkan mereka sibuk berperang, saling memfitnah, memasang berbagai perangkap, tipu daya dan pemaksaan dalam rangka meraih kemenangan dan kekuasaan. Situasi dan kondisi seperti ini melahirkan masa krisis umum sehingga semangat keilmuan dan kesenian menjadi lemah dan mandek. Dan krisis ini mempengaruhi terhentinya gerakan ijtihad pembentukan hukum.

2.    Pada pariode ketiga para imam Mujtahid terpolarisasi dalam beberapa golongan. Masing-masing golongan membentuk menjadi aliran hukum tersendiri dan mempunyai khittah tersendiri pula. Misalnya ada kalanya dalam rangka membela dan memperkuat mazhabnya masing-masing dengan cara mengemukakan argumentasi yang melegitimasi kebenaran mazhabnya masing-masing mengedepankan kekeliruan mazhab lain yang dinilai bertentangan dengan mazhabnya.

3.    Umat Islam mengabaikan sistem kekuasaan perundang-undangan, sementara di sisi lain mereka juga tidak mampu merumuskan peraturan yang bisa menjamin agar seseorang tidak ikut berijtihad kecuali yang memang ahli dibidangnya. Dengan demikian terjadilah krisis pembentukan hukum dan ijtihad, dimana praktik ijtihad dilakukan oleh orang-orang yang tidak mempunyai keahlian. Orang-orang bodoh mempermainkan nas-nas syariah, mereka berani berfatwa kepada umat islam. Muncullah berbagai macam fatwa hukum yang bertentangan antara satu dengan lainnya. Hal ini juga diikuti munculnya berbagai keputusan hukum, diperadilan-peradilan, sehingga terjadilah keputusan hukum diperadilan yang bertentangan dalam kasus yang sama dalam satu negeri. Semua ini terjadi dikalangan umat islam dan semuanya dianggap sebagai bagian dari hukum-hukum syariat. Situasi dan kondisi seperti ini membuat para ulama merasa khawatir sehingga mereka mengambil sikap kebijaksanaan hukum dengan cara menyatakan menutup pintu ijtihad dan mengikat para mufti (ahli fatwa) dan hakim supaya tetap saja mengikuti ketetapan-ketetapan hukum para imam mujtahid terdahulu. Inilah cara mereka mengatasi atau mengobati krisis pembentukan hukum Islam dengan cara yang bisa melahirkan sikap dan masa kebekuan. Ini terjadi pada akhir abad IV H.

4.    Para ulama dilanda krisis moral yang menghambat mereka sehingga tidak bisa sampai pada level orang-orang yang melakukan ijtihad. Di kalangan mereka terjadi saling menghasut dan egois mementingkan diri sendiri. Kalau diantara mereka berusaha mengetuk pintu ijtihad yang berarti akan membuka pintu kemasyhuran bagi dirinya dan merendahkan kedudukan rekan-rekan lainnya. Kalau ia berni berfatwa mengenai suatu masalah menurut pendapatnya, maka para ulama lainnya meremehkan pendapatnya dan merusak fatwanyadengan berbagai macam car. Oleh karena itu, para ulama berusaha untuk tetap menjaga diri dari adanya tipu daya rekan-rekannya dan dari celaan mereka dengan mengatakan bahwa dia itu adalah tukang taklid dan tukang kutip san dan bukan seoang mujtahiid. Dengan demikian, semnagt ijtihad mandek dan mati sehingga tidak ada yang lahir dan terangkat tokoh-tokoh dalam dunia fikih islam. Dan kepercayaan ulama terhadap dirinya sendiri menjadi lemah dan kurang. Demikian pula kepercayaan masyarakat kepadanya juga lemah dan kurang, sehingga dengan demikian, mereka bertaklid kepada mazhab-mazhab imam mujtahid terdahulu saja.[2]

4.      Hukum Taqlid
     Pada dasarnya para ulama sepakat mengharamkan taqlid karena dapat membuat manusia malas untuk berijtihad. Ada tiga hukum taqlid, yaitu:

a.       Taqlid yang haram
 Ulama sepakat haram melakukan taqlid ini. Taqlid ini ada tiga macam :
1.      Taqlid semata-mata mengikuti adat kebiasaan atau pendapat nenek moyang atau orang dahulu kala yang bertentangan dengan al Qur`an Hadits.
2.      Taqlid kepada orang atau sesuatu yang tidak diketahui kemampuan dan keahliannya, seperti orang yang menyembah berhala, tetapi ia tidak mengetahui kemampuan, keahlian, atau kekuatan berhala tersebut.
3.      Taqlid kepada perkataan atau pendapat seseorang, sedangkan yang bertaqlid mengetahui bahwa perkataan atau pendapat itu salah.
b.      Taqlid yang dibolehkan
 Dibolehkan bertaqlid kepada seorang mujtahid atau beberapa orang mujtahid dalam hal yang belum ia ketahui hukum Allah dan Rasul-Nya yang berhubungan dengan persoalan atau peristiwa, dengan syarat yang bersangkutan harus selalu berusaha menyelidiki kebenaran masalah yang diikuti itu. Jadi sifatnya sementara.
c.       Taqlid yang diwajibkan
 Wajib bertaqlid kepada orang yang perkataannya dijadikan sebagai dasar hujjah, yaitu perkataan dan perbuatan Rasulullah SAW.[3]
5.      Pendapat Imam Madzhab tentang Taqlid
·         Imam Abu Hanifah
Beliau merupakan cikal bakal ulama fiqh. Beliau mengharamkan orang mengikuti fatwa jika orang itu tidak mengetahui dalil dari fatwa itu.

·         Imam Malik bin Anas
 Beliau melarang seseorang bertaqlid kepada seseorang walaupun orang itu adalah orang terpandang atau mempunyai kelebihan. Setiap perkataan atau pendapat yang sampai kepada kita harus diteliti lebih dahulu sebelum diamalkan.

·         Imam asy Syafi`i (150-204 H)
 Beliau murid Imam Malik. Beliau mengatakan bahwa “ beliau akan meninggalkan pendapatnya pada setiap saat ia mengetahui bahwa pendapatnya itu tidak sesuai dengan hadits Nabi SAW.

·         Imam Hambali (164-241 H)
Beliau melarang bertaqlid kepada imam manapun, dan menyuruh orang agar mengikuti semua yang berasal dari Nabi SAW dan para sahabatnya. Sedang yang berasal dari tabi`in dan orang-orang sesudahnya agar diselidiki lebih dahulu. Mana yang benar diikuti dan mana yang salah ditinggalkan.








[2]. Abdul Wahab Khallaf, Sejarah Pembentukan Dan Perkembangan Hukum Islam (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), 112.
[3] Satria Effendi, Ushul Fiiqh (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,2005)

Pengertian Al-Quran dan Hadis sebagai Sumber Dalil

A.    Pengertian Al-quran
       Al-quran dalam kajian ushul fiqh merupakan objek pertama dan utama pada kegiatan penelitian dalam memecahkan suatu hukum. Al-quran menurut bahasa berarti “bacaan” dan menurut istilah Ushul Fiqh Al-Quran berarti “Kalam (Perkataan) Allah yang diturunkan-Nya dengan perantara Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW. Dengan bahasa Arab serta dianggap beribaddah membacanya.”[1]
 Al-quran terdiri dari 30 juz, 114 Surat, 6.236 ayat, adapun tentang isi kandungan Al-quran oleh sebagian ulama dibagi kedalam lima bagian :
1.      mengandung hal-hal  yang berhubungan dengan ketauhidan.
2.      Hal hal yang berhubungan dengan ibadat.
3.      Hal hal yang berhubungan dengan janji akan mendapat ganjaran.
4.      Mengenai penjelasan tentang mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat
5.      Mengenai sejarah atau kisah kisah umat terdahulu. [2]
 Al-quran diturunkan dalam dua periode, yaitu pertama periode Mekkah sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah yang dikenal dengan ayat-ayat Makkiyyah, dan periode kedua setelah Rasulullah hijrah ke Madinah yang dikenal dengan ayat-ayat Madaniyah.
Rahasia mengapa di Mekkah belum banyak ayat-ayat hukum diturunkan kerana waktu sebelum hijrah. Di Mekkah belum terbentuk satu masyarakat atau komunitas Islam seperti halnya madinah setelah Rasulullah Hijrah ke negeri itu.
B.     Kehujjahan Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum Islam Yang Utama
      Para Ulama’ sepakat menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber pertama dan utama bagi Syari’at Islam, termasuk hukum islam. dan menganggapnya al-qur’an sebagai hukum islam karena di latar belakangi sejumlah alasan, dintaranya :
1.      Kebenaran Al-Qur’an
 Abdul Wahab Khallaf mengatakan bahwa “ kehujjahan Al-Qur’an itu terletak pada kebenaran dan kepastian isinya yang sedikitpun tidak ada keraguan atasnya”.  Maka seluruh hukum-hukum yang terkandung di dalam Al-Qur’an merupakan Aturan-Aturan Allah yang wajib diikuti oleh seluruh ummat manusia sepanjang masa hidupnya.
2.      Kemukjizatan Al-Qur’an
 Al-Qur’an merupakan mukjizat terbesar yang diberikan kepada nabi Muhammad SAW, karena Al-Qur’an adalah suatu mukjizat yang dapat disaksikan oleh seluruh ummat manusia sepanjang masa, karena Rasulullah SAW diutus oleh Allah SWT untuk keselamatan manusia kapan dan dimana pun mereka berada. Allah telah menjamin keselamatan Al-Qur’an sepanjang masa.
 Adapun beberapa bukti dari kemukjizatan Al-Qur’an, antara lain:
a.       Di dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang berisi tentang kejadian-kejadian yang akan terjadi di masa mendatang, dan apa-apa yang telah tercantum di dalam ayat-ayat tersebut adalah benar adanya.
b.      Di dalam Al-Qur’an terdapat fakta-fakta ilmiah yang ternyata dapat dibuktikan dengan ilmu pengetahuan pada zaman yang semakin berkembang ini.

 Al-Qur’an sebagai Sumber  Hukum Menurut Imam Madzhab, diantaranya:
·         Pandangan Imam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah sependapat dengan jumhur ulama’ bahwa Al-Qur’an merupakan sumber hukum islam. Akan tetapi Imam Abu Hanifah itu berpendapat bahwa Al-Quran itu mencakup maknanya saja. Diantara dalil yang menunjukan pendapat Imam Abu Hanifah tersebut, bahwa dia membolehkan shalat dengan menggunakan bahasa selain arab, misalnya: Dengan bahasa Parsi walaupun tidak dalam keadaan Madharat. Padahal menurut Imam Syafi’i sekalipun seseorang itu bodoh tidak di bolehkan membaca Al-Qur’an dengan menggunakan bahasa selain Arab.

·         Pandangan Imam Malik
 Menurut Imam Malik, hakikat al-Quran adalah kalam Allah yang lafadz dan maknanya berasal dari Allah SWT . Sebagai sumber hukum islam, dan Dia berpendapat bahwa Al-Qur’an itu bukan makhluk, Karena kalam Allah termasuk Sifat Allah.
 Dengan demikian, dalam hal ini Imam Malik mengikuti Ulama Salaf (Sahabat dan Tabi’in) yang membatasi pembahasan Al-Qur’an sesempit mungkin karena mereka khawatir melakukan kebohongan terhadap Allah SWT. Dan imam malik mengikuti jejak mereka dalam cara menggunakan ra’yu.
Berdasarkan ayat 7 surat Ali Imran, petunjuk Lafazh yang terdapat dalam Al-qur’an  terbagi dalam dua macam yaitu:
·         Ayat Muhkamat
Muhkamat adalah ayat yang terang dan tegas maksudnya serta dapat di pahami dengan mudah. Dan ayat Muhkamat disini terbagi dalam dua bagian yaitu; Lafazh dan Nash.
Imam malik menyepakati pendapat ulamak-ulamak lain bahwa lafad nash itu (qoth’i) artinya adalah lafazh yang menunjukkan makna yang jelas dan tegas (qoth’i) yang secara pasti tidak memiliki makna lain, Sedangkan Lafadz Dhohir ( Zhanni) adalah lafazh  yang menunjukkan makna jelas, namun masih mempunyai kemungkinan makna lain.
Menurut imam malik keduanya, dapat dijadikan hujjah , hanya saja Lafazh Nash di dahulukan dari pada Lafazh Dhohir . Dan juga menurut imam malik bahwa dilalah nash termsuk qath’i, sedangkan dilalah zhahir termasuk Zhanni, sehingga bila terjadi pertentangan antara keduanya, maka yang di dahulukan adalah dilalah nash. Dan perlu di ingat adalah makna zhahir di sini adalah makna zhahir menurut pengertian Imam Malik











            Pencatat pertama yang selalu mendampingi nabi dan mencatat sesuai teks adalah Zaid bin Tsabit. selain beliau, ikut juga mencatat Abu Bakar, Usman, Umar, Ali, Zubair, Abdullah bin din saad, dan Ubai bin bin kaab. Nabi belum wafat sebelum seluruh ayat alquran turun, dan kepada juru hafal,nabi sering membacakan seluruh wahyu/isi alquran dan mengecek kebenaran hafalan mereka dengan cara mendengarkannya.
            Ketika itu penulisan ayat ayat dilakukan di atas batu,tulang tulang,pelepah kurma danbenda benda lain yang dapat ditulisi, disamping para juru hafal al quran yang tidak sedikit jumlahnya waktu itu.
            Dalam peperangan di zaman abu bakar, banyak para penghafal alquran yang gugur di medan perang, maka atas ajuan umar, abubakar memerintahkan kepada zaid bin tsabit dan yang lainnya untuk mengumpulkan ayat ayat yang terserak dan hafalan para sahabat untuk disusun dalam satu buku.buku yang  satu inilah di zaman usman (644-655 M) di perbanyak, dan dikirim ke daerah daerah islam.dan teks ini pulalah yang menjadi patokan para pencetak al quran.
 Sejarah yang jelas ini menunjukan bahwa, al quran terjaga dari cacat dan cela manusia, sebagai mana firman allah yang berbunyi:





“sesungguhnya kami telah turunkan alquran dan sesungguhnya kami pula yang menjaganya”(QS.Al-Hijr:9).

 bila di lihat dari seluruh ayat ayat alquran, mengandung bermacam macam dialah hokum, antara lain:

1.      Terkadang satu ayat terkandung satu perintah yang jelas dan tegas, akan tetapi tidak dijelaskancaranya.
seperti firman allah berbunyi:




“Dirikanlah Shalat…….”(QS.Al-Baqarah:43) ayat tersebut dengan jelas memerintahkan shalat, tetapi tidak ada ayat yang menjelaskan tentang caranya.


2.      Terkadang suatu ayat mengandung suatu perintah yang jelas tenteng tempatnya, akan tetapi tidak dijelaskan mengenai batasaan nya seperti firman allah tentang tayamum yang berbunyi:


“usaplah wajah kamu dan tangan kamu…..”(QS.An Nisaa:43)



            Perintah di ayat tersebut, jelas tentang tempatnya,yakni wajah dan tangan, akan tetapi batas wajah dantangan tidak dijelaskan.

Dalam hal hal seperti yang disebut di atas, maka nabi Muhammad lah yang menjelaskannya,penjelasan nabi yang berbentuk perkataan,perbuatan atau takrir, disebut hadis atau sunah.
Al quran disebut juga sebagai nash  Nash Qat’y. yakni Qaty al wurud.Sedang dildldhnya belum tentu qaty.kalau yang dilalahnya Dzanny jelas wilayah ijtihad.Bahkan yang dilalah qaty  saja ada yang bersifat istinbati, ada yang bersifat tatbiqi seperti pencuri potong tangan doleh di ijtihadi sebagaimana umar tidak melakukan hokum potong tangan pada masa paceklik(kekeringan)[3]

Sunnah Rasulullah
            Kata sunnah secara  bahasa berarti “prilaku seseorang tertentu, baik itu yang baik ataupun yang buruk.Menurut Ushul Fiqh, sunnah rasulullah,seperti di kemukakan oleh nabi Muhammad ‘ajjaj al –khatib (guru besar hadis Univ.Damaskus), berarti “ segala prilaku rasulullah yang berhubungan dengan hokum,baik berupa ucapan  (Sunnah qaulyyiah),perbuatan (sunnah fiiliyah) atau pengakuan (sunnah taqririyah”

Contoh sunnah qauliyyiah (ucapan) sabda rasullullah SAW:


“Dari Ubadah bin samit, sesungguhnya rasullulah SAW. Menetapkan bahwa tidak boleh melakukan kemudaratan, dan tidak pula boleh membalas kemudaratan dengan kemudaratan”.(HR.Ibnu Majah)

Sementara contoh sunnah fiiliyah ialah tentag rincian tentang tata cara shalat sebagai berikut:



“Dari ibnu umar berkata, sesungguhnya rasulullah SAW. Bersabda: “saya shalat seperti sahabat sahabatku melaksanakan salat, aku tida melarang seseorang di antara mereka shalat,baik siang maupun malam sesuai yang di kehedakinya,kecuali mereka sengaja shalat pada saat terbit dan tenggelamnya matahari.(Hr.Bukhari)

            Demikian juga dengan masalah masalah yang berkaitan dengan ibadah haji, dimana dalam Al quran hanya di sebutkan kewajiban melakukan shalat dan melakukan haji tanpa ada penjelasannya secara terperinci.

            Sedangkan contoh sunnah taqririyah(pengakuan) ialah pengakuan rassullah atas prilaku para sahabat dalam suatu perjalanan, ketika akan shalat tidak mendapatkan air, lalu mereka bertayamum dan mengerjakan shalat.kemudian merekamenemukan air sedngkan  waktu shalat masih berlanjut.lalusalah seorang diantara keduanya mengulangi shalatnya sementara yang lain tidak.ketika mereka melaporkan hal itu kepada rassulullah, beliau membenarkan kedua praktik tersebut .kepada yang tidak mengulangi shalatnya beliau berkata : engkau telah melakukan sunnah,dan telah cukup bagimu shalatmu itu”.dan kepada yang mengulangi shalatnya  beliau berkata pula : “bagi mu pahala dua kali lipat ganda”.[4]

             




[1] Prof.Dr.H. Satria Effendi, M.Zein, M.a “uhsul fiqh”(Jakarta:kencana,2008.cetakan.2).hal.79-80
[2] Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H. , M.A. Ilmu ushul fiqih 1 dan 2 (Jakarta:kencana pernada group,2010,cetakan 1). Hal. 143

[3] Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H. , M.A. Ilmu ushul fiqih 1 dan 2 (Jakarta:kencana pernada group,2010,cetakan 1). Hal 143 – 146.
[4] Prof.Dr.H. Satria Effendi, M.Zein, M.a “uhsul fiqh”(Jakarta:kencana,2008.cetakan.2).hal.79-80

HADITS-HADITS MENGENAI ZINA

HADIS MENGENAI ZINA
HADITS KE-1
Bab mengaku berzina
Kitab hadits    : Terjemahan Nailul Authar, jilid 6
No                 : 4013
Bab 1            : Tentang merajam pezina Muhsan, mendera pezina yang masih jejaka / perawan serta definisi                          zina
Halaman        : 2577
Cetakan         : ke-empat 2005
ا – با بب حد الزاني

 ٤٠١۳- عَنْ أَبِبيْ حُرَيْرَاةَ ، وَزَيْدِ بْنِ خَالِدٍ ،أَنَّهُمَا قَالاَ, أِنَّ رَجُلًا مِنَ الْأعْرَابِ أَتى رسول الله صلى الله عليه وسلم ، فقال : يا رسول الله ، أَنْشُدِكَ الله إِلَّا قَضَيْتَ لِي بِكِتَابِ الله،وَقَالَ الخَضْمُ الآ خر- وَهُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ : نَعَمْ , فَاقْضِ بَيْنَناَ بِكِتَابِ اللهِ , وَئْذَنلِي , فقال رَسُوْلُ الله صم : "قُلْ" , قَالَ : إِنَّ ابْنِ كَانَ عَسِيْفًا عَلَى هَذَا , فَزَنِىبِاِمْرَئَتِهِ , وَإِنِّي أُخْبِرْتُ أَنَّ عَلَى ابْنِي الَّرَجْمَ فَافْتَدَيْتُ مِنْهُ بِمَائَةِ شَاةٍ وَوَلِيْدَةٍ , فَسَأَلْتُ أَهْلَ اْلعِلْمِ , فَأَخْبِرُوْنِى أَنَّ عَلَى ابْنِي َجَلْدَ مِائَةٍ وَتَغْرِيْبَ عَامٍ، وَإَنَّ عَلَىامْرَأَةً هَذَا الرَّجْمَ ، فَقَالَ رسول الله صلٌى الله عليه وسلٌم : والَّذِي نَفْسِيْ بِيَدِهِ، لَأَقْضِيَنَّ بَيْنَكُمَا بِكِتَابِ اللهِ , الْوَلِيْدَةُ وَالغَنَمُ رَدٌّ ، وَعَلَى ابْنِكَ جَلْدُ مِائَةٍ وَتَغْرِيْبُ عَامٍ، وَاغْدُ يَا أُنَيْسُلِرَجُلٍ مِنْ أَسْلَمَ . إِلَى امْرَأَةِ هَذَا، فَإِنِ اعْتَرَفَتْ فَارْجُمْهَا، قَالَ : فَغَدَا عَلَيْهَا ، فَاعْتَرَفَتْ ، فَأَمَرَبِهَا رَسُوْلُ اللهِ صم. فَرُجِمَتْ. (رواه الجمعة)


Artinya :
Dari Abi Hurairah dan Zaid bin Khalid mereka berkata, bahwa ada seorang laki-laki Baduwi datang ke tempat Rasulullah saw. Seraya berkata, Ya Rasulullah! Demi Allah, sungguh aku meminta kepadamu kiranya engkau dapat memutuskan hukum untukku dengan kitabullah, sedang lawannya berkata – padahal yang kedua ini lebih pintar dari pada dia- Ya, putuskanlah hokum antara kami berdua ini menurut kitabullah, dan izinkanlah aku (untuk berkata), Lalu Rasullullah saw menjawab, “silahkan”.. maka berkatalah kedua orang itu, bahwa anakku bekerja kepada orang ini lalu ia berzina dengan istrinya sedang aku sendiri sudah diberitahu, bahwa anakku itu harus dirajam lalu aku akan menebusnya dengan seratus kambing dan seorang anak perempuan (walidah), lalu aku bertanya pada orang-orang yang pintar maka jawabnya, bahwa anakku harus di dera seratus kali dan diasingkan (dipenjara) selama setahun, sedang istri orang ini harus dirajam. Maka jawab Rasulullah saw , “Demi dzat yang diriku dalam kekuasaanNya, sungguh aku akan putuskan kalian berdua dengan kitabullah, yaitu: Hamba dan kambing itu dikembalikan ( kepadamu), sedang anakmu harus didera seratus kali dan diasingkan selama setahun”. Dan engkau hai Unais pergilah bertemu seorang dari Aslam untuk bersama sama ketempat istri orang ini, dan tanyakan , jika dia mengaku (berzina) maka rajamlah dia”. Abu Hurairah berkata, Unais kemudian berangkat ke tempat perempuan tersebut, dan perempuan itupun mengaku. Lalu oleh Rasulullah saw diperintahkan untuk dirajam, kemudian iapun di rajam.
Muttafaq ‘alaihi,

ASBAB AL WURUD
·         Riwayat dalam Buhari dan Muslim sebagai berikut:
            Sesungguhnya pernah ada seorang Arab desa datang menghadap Nabi saw. Lalu ia berkata: Ya Rasulullah, aku mohon kepadamu dengan nama Allah agar suaya engkau memutuskan hokum buatku berdasarkan Kitabullah! Kemudian pihak yang lain berkata sedang ia lebih mengerti daripada pihak pertama tadi. Benar, putuslah kami dengan Kitabullah dan izinkanlah aku (berbicara) !lalu Nabi saw. Bersabda, “ Bicaralah!” Ia  berbicara: Sesungguhnya anakku ini menjadi buruhorang ini lalu ia berzina dengan istrinya, sedang aku diberitahu bahwa anakku ini harus dirajam, maka kutebus dia dengan seratus ekor kambing dan seorang hamba perempuan. Kemudian aku bertanya kepada para ulama’ lalu mereka memberitahukan kepadaku, bahwa anakku harus didera seratus kali dan dibuang setahun sedang istri orang ini harus dirajam. Kemudian Rasulullah saw. Bersabda, “Demi Dzat yang diriku berda dibawah kekuasaan-Nya, sungguh aku benar-benar akan memutuskan diantara kalian berdasarkan kitabullah, (yaitu) hamba perempuan dan kambing kembali padamu, sedang anakmu harus didera seratus kali dan dibuang selama setahun dan besok pagi-pagi hai Unais, bawalah perempuan ini, kemudian jika ia telah mengakui maka rajamlah ia!” Kemudian pada pagi harinya (perempuan itu dibawa oleh Unais) lalu ia mengakuinya kemudian diperintahkan oleh Nabi saw. (untuk dirajam) maka ia pun dirajam.
            Jumhur  berkata: Nabi saw menyuruh  untuk merajamnya dan tidak mengatakan: Deralah lalu rajamlah.[1]

PENJELASANNYA:
            Perkataan “anakmu harus didera seratuskali dan diasingkan setahun” itu. Syarih rahimahullah berkata, ini menunjukkan adanya hukuman pengasingan (termaksud penjara) yang merupakan suatu keharusan terhadap diri seorang yang berzina tidak muhshan. Sedang menurut dhahirnya hadis-hadis perihal pengasingan ini adalah berlaku untuk pria dan wanita. Dan begitulah pendapat syafi’i. sedang menurut pendapat Malik dan Al-Auza’I, bahwa pengasingan itu tidak berlaku untuk wanita, karena wanita adalah aurat. Dan itu pula yang diriwayatkan sebagai pendapat dari Ali ra. Selesai dengan diringkas.


             HADITS KE 2
Kitab Hadits      : Bulughul Maram
No                      : 1234
Bab                    : Had Zani
Halaman                        : 558
Cetakan             : XXVI (26)
١٢/١١۳٩- وَعَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَاللهُ تَعَالَى عَنْهُمَا : أَنَّ النَّبِيُّ صم َضَرَبَ وَغَرَّبَ ، وَأَنَّ أَبَا بَكْرٍ ضَرَبَ وَغَرَّبَ ، وَأَنَّ عُمَرَ ضَرَبَ وَغَرَّبَ . رَواهُ التَّرْمِذِيُّ ، وَرِجَلُهُ ثِقَاتٌ ، ألا أَنَّهُ اخْتُلِفَ فِي وَقْفِهِ وَرَفْعِهِ .
Artinya:
Dari ibnu umar bahwasannya Nabi saw. Telah dera dan a singkan (teruna berzina), dan bahwasanya Abu Bakar telah dera dan asingkan.
Diriwayatkan-dia Oleh Tirmidzi dan rawi rawinya orang-orang kepercayaan, tetapi diperselisihkan tentang mauqufnya dan marfu’nya.


HADITS KE-3
·         Bab pertanyaan imam terhadap orang yang mengaku berzina, “Apakah engkau telah berzina?
Kitab Hadits   : Nailul Authar
No                   : 4023
Bab                  : Bilangan empat kali untuk Pengakuan Berzina
Halaman          :2586
Cetakan           : ke-empat 2005
٤٠٢٣ وَعَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: أَتَى رَجُلٌ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَليْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ فِيْ الْمَسْجِدِ- فَنَادَاهُ، فَقَالَ: يَارَسُوْلُ اللهِ، أِنِّي زَنَيْتُ ، فَأَعْرَضَ عَنْهُ حَتَّى رَدَّدَ عَلَيْهِ أَرْبَعَ مَرَّاتٍ فَلَمَّا شَهِدَ عَلَى نَفْسِهِ أَرْبَعَ شَهَادَاتٍ، دَعَاهُ الْنَّبِيُ صم فَقَالَ : : أَبِكَ جُنُوْنٌ ؟ قَال: لا، قَالَ: فَهَلْ أَحْصَنْتَ ؟ قَالَ: نَعَمْ، فَقَالَ النَّبِيُّ صم : اذْهَبُوابِهِ ، فَارْجُمُوهُ . قَالَ اْبْنُ شِهَابٍ: فَأَخْبَرَ نِيْ مَنْ سَمِعَ جَابِرَبْنَ عَبْدِالله قَالَ : كُنْتُ فِيْمَنْ رَجَمَهُ، فَرَجَمْنَاهُ بِالْمُصَلَّى. فَلَمَّا أَذْ لّقَتْهُ الحِجَارَةُ هَرَبَ، فضاَدْرَكْنَاهُ بِالْحَرَّةِ، فَرَجَمْنَاهُ.(مُتَّفَقْ عَلَيْهِ)

TERJEMAHAN
Artinya :
4023.  Dari Abu Hurairah ra. Ia berkata, Ada serang laki-laki menghadap Rasulullah saw. Di Mesjid, lalu iamenyeru, Ya Rasulullah! Sesungguhnya aku benar-benar telah berzina. Kemudian Rasulullah saw berpaling, sehingga orang tersebut mengulanginya sampai empat kali. Maka setelah iabersumpah empat kali, ia dipanggil oleh Nabi saw. Lalu Nabi saw. Bertanya, “ Apakah engakau mengindap penyakit gila?” Ia menjawab, Tidak. Nabi bertanya lagi, “ Apakah engkau berzina muhshan?” Ia menjawab, Betul. Lalu Nabi Saw menyuruh para sahabat, “Bawalah dia lalu rajamlah”. Ibnu Syibab berkata, ada seorang yang mendengar dari Jabir bin Abdullah memberitahukan, bahwa Jabir berkata, Aku termaksud salah seorang yang merajamnya, yaitu kami rajam dia di Mushala. Tetapi tatkala  batu-batu lemparan itu melukainya, lalu kami tangkap dia di Harrah, kemudian kami rajam (sampai mati). (H.R Ahmad, Bukhari dan Muslim).
Muttafaq ‘alaihi.
Note :Laki-laki dalam hadits yang dimaksud adalah Ma’iz bin Malik.

HADITS KE-4
Bab bilangan empat kali untuk pengakuan berzina
Kitab Hadits   : Nailul Authar
No                   : 4026
Bab 3               : Bilangan 4 kali untuk pengakuan zina
Halaman          : 2586
Cetakan           : ke-empat

٤٠٢٣- عَنِ ا بْنِ عَبَّاسٍ قال : لَمَّا أَتَى مَاعِزُبْنُ مَالِكٍ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لَعَلَّكَ قَبَّلْتَ،أَوْغَمَّزْتَ أَوْنَظَرْتَ؟ قَالَ : لاَيَكْنِيْ،قَالَ : نَعَمْ.فَعِنْدَ ذَلِكَ أَمَرَ بِرَجْمِهِ (رواه احمد والبخاريّ وأبوداود)

TERJEMAHAN
Artinya:
 Dari Ibnu Abbas, ia berkata, tatkala Ma’iz bin malik datang ke tempat Nabi SAW, Nabi SAW bertanya, “ apakah barangkali engkau hanya mencium, atau mungkin engkau sekedar bermain mata atau mungkin sekedar melihat?” Ma’iz menjawab, Tidak, ya Rasulullah. Lalu nabi SAW bertanya, “apakah engkau setubuhi dia?” dengan tidak menggunakan kata sindiran ia menjawab, Ya. Ketika itulah, lalu dia diperintahkan untuk dirajam. (HR. Ahmad, Bukhari dan Abu Daud).


ASBAB AL-WURUD
·           Kisah Kasus Maiz
             Diriwayatkan bahwa Maiz bin Malik al-Aslami adalah seorang anak yatim dibawah asuhan Hazal bin Nu’aim, lalu ia berzina dengan seorang hamba perempuan dari suku Hay, kemusdian Hazal menyuruhnya untuk menghadap Nabi saw. Dan memberitahu kepadanya apa yang telah ia perbuat barangkali Nabi saw. Mau memaafkannya. Lalu datanglah ia menghadap Nabi saw. Sedang pada waktu itu nabi saw. Berada di Mesjid, Nabi saw. Sedang pada waktu itu nabi saw. Berada diMesjid, ia memaggil: Ya Rasulullah, sesunggguhna aku telah berbuat zina! Kemudian Nabi saw. Berpaling daripadanya dan bersabda kepadanya:
 “celaka kamu! Kembalilah, mohonlah ampunan kepada Allah dan tobatlah kepadanya-Nya !”
            Kemudian Ma’iz berpaling ke arah Nabi saw. Lagi dan berkata: sesungguhnya aku telah berbuat zina! Lalu nabi saw. Berpaling darinya. Kemudian Maiz menghadap lagi kearah nabi saw. Seraya berkata: Sucikanlah diriku ya Rasulullah, sungguh aku telah berbuat zina! Lalu Abu Bakar ash-Shiddiq ra. Berkata: kalau kamu mengaku (seperti itu ) empat kali maka Rasulullah saw. Akan merajam kamu. Tetapi Maiz tetap menolak dan berkata (lagi): Ya Rasulullah sungguh aku telah berbuat zina, sucikanlah aku!
            Kemudian Rasulullah saw. Bersabda:
 “Barangkali engkau sekedar mencium, mencubit atau melihat saja?” Maiz menjawab: Tidak !lalu Rasulullah saw. Bertanya kepadanya dengan kata-kata yang tegas maknanya (yaitu kata) “Jima’” lalu Ma’iz menjawab: Ya! Nabi saw. Bertanya:
 “Sehingga kemaluan masuk kedalam vaginanya?” Ia menjawab: Ya! Nabi saw. Bertanya (lagi): “Apakah seperti batang celang masuk kedalam wadahnya atau seperti timba masuk sumur?”Ia menjawab: Ya!
 Kemudian Nabi saw. bertanya lagi: “Tahukah kamu apakah zina itu?” Ia menjawab Ya (aku tahu), yaitu aku berbuat sesuatu dengan cara seperti apa yang dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap istrinya sendiri secara halal”. Nabi saw. Bertanya lagi: “ lalu apak kamu maksudkan dengan ucapanmu itu?” Ia menjawab: Akubermaksud agar supaya engkau mensucikan diriku. Lalu Nabi saw. Memerintahkan (agar supaya dirajam), maka dirajamlah dia.
            Maka tatkala ia (Ma’iz) merasakan sakitnya terkena lemparan batu ia berteriak-teriak kepada orang banyak: Hai kaumku, kembalikanlah aku kepada Rasulullah saw. Sebab kaumku telah membunuhku dan menipuku serta memberitahukan kepadaku bahwa rasulullah saw. Tidak membunuhku, tetapi orang-orang tetap memukulnya sehingga ia mati.
            Lalu kejadian itu disampaikan kepada Rasulullah saw. Kemudian ia bersabda:
“Mengapa kalian tidak membiarkannya (lari), barangkali ia mau bertobat lalu Allah menerima tobatnya”. Tiba-tiba Rasulullah saw. Mendengar sebagian sahabat membicarakan kejadian Ma’iz itu, katanya: sungguh ia telah dirajam seperti anjing. Kemudian Rasulullah saw. Marah seraya bersabda: “Sungguh ia telah bertobat dengan sungguhnya kalau seandainya (tobatnya itu) dibagi untuk seluruh umat tentu mencukupi”.[2]

PENJELASAN
            Syarih berkata, perkataan” apakah engkau mengindap sakit gila” itu, menunjukkan, bahwa imam/ pemimpin wajib mencari kejelasan (mengecek) dan meneliti akan kebenaran pengakuan seseorang.
            Perkataan “apakah engkau zina muhshan” itu maksudnya, apakh engkau sudah pernah kawin? Dalam kisah ini menurut beberapa riwayat ada beberapa tambahan tentang masalah mencari kejelasan itu, diantaranya hadis Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Rasulullah saw. Bertanya kepada Mai’z:
            Artinya: Barangkali engkau hanya sekedar mencium, melirik dan atau mengamat-amatinya?

PERBEDAN FUQAHA DALAM MENGISTIMBATHKAN HUKUM DARI HADITS YANG DIATAS
Ulama berselisih pendapat apakah wajib mengulangi pengakuan sampai empat kali atau tidak? Maka pendapat dari sebagian ahli ‘ilmu seperti Imam Ahmad, jumhur ulama, Al Hakam, Ibnu Abi Layla, dan Hanafiyyah adalah wajib mengulangi pengakuannya sampai empat kali. Mereka berdalil dengan hadits yang sedang kita bahas ini.  Maka Nabi tidak menerapkan hukum had kepada Ma’iz kecuali setelah Ia mengaku bahwa dirinya berzina sebanyak empat kali pengakuan. Dan juga men-qiyas-kan dengan persaksian zina, bahwasanya persaksian zina tidak diterima kecuali dengan empat orang saksi laki-laki. Dan tidak disyaratkan pengakuan tersebut dilakukan di beberapa majelis yang berbeda, berbeda dengan Hanafiyyah.
            Sedangkan Imam Malik, Imam Syafi’i, Abu Tsaur, dan Ibnul Mundzir berpendapat bahwa penerapan hukum had cukup dengan satu kali pengakuan berdasarkan hadits :
وَاغْدُ يَا أُنَيْسُ إِلَى امْرَأَةِ هَذَا فَإِنْ اعْتَرَفَتْ فَارْجُمْهَا
“Pergilah wahai Unais kepada wanita ini, jika ia mengaku berzina maka rajamlah ia” (HR. Bukhari)
            Dalam hadits ini tidak disebutkan harus mengaku sampai empat kali. Maka wanita tersebut dirajam meskipun hanya mengakui perbuatan zinanya satu kali.

HADITS KE 5
Kitab Hadits   : Nailul Authar
No                   : 4032
Bab                  : Minta penjelasan kepada orang yang mengaku berzina itu, dan dinilai jelas kalau ia tidak ragu-ragu
Halaman          : 2592
Cetakan           : ke-4 2005
٤٠٣٢- وَعَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ : جَاءَ الآَسْلَمِيُّ أِلَى رَسُوْلِ آللهِ صم ، فَشَهِدَ عَلَى نَفْسِهِ أَنَّهُ أَصَابَ آمْرَأَةً حَرَامًا أَرْبَعَ مَرَّتٍ ، كُلُّ ذَلِكَ يُعْرِضُ عَنْهُ ، فَأَقْبَلَ عَلَيْهِ فِيْ آلْخَامِسَةِ فَقَالَ : أَنِكْتَهَا؟ قالَ : نَعَمْ . قَالَ : كَمَا يَغِيْبُ آلمِرْوَدُ فِيْ المكْحَلَةِ . وَالرَّشَاءُنِيْ البِؤرِ ؟ قَالَ : نَعَمْ ، قالَ : فَهَلْ تَدْرِيْ مَاالْزِّذَا؟ قَالَ : نَعَمْ ، أَتَيْتُ مِنْهَا حَرَامًا ، مَايَأْتِيْ آلْرَّجُلُ مِنِ امْرَأَتِهِ حَلآلاًز قَال: فَمَا تُرِيْدُ بِهَذَ االْقوْلِ ؟ قَالَ: أُرِيْدُ أَنْ تُطَهِّرَنِيْ ، فَأَمَرَبِهِ فَرُجِمَ  (رواه أبو داود والدرقطنيْ)

Artinya:
Dan dari Abu Hurairah, ia berkata, Al-Aslami datang ke tempat Rasulullah saw, lalu ia mengaku telah melakukan perbuatan haram dengan seorang perempuan, empat kali yang setiap kali pengakuannya itu, Nabi berpaling. Lalu untuk yang kelima kalinya, baru Nabi menghadapinya, seraya bertanya, “Apakah engkau setubuhi dia?” ia menjawab, Ya. Nabi bertanya lagi, “ Apakah seperti anak celak masuk kedalam tempat celak dan seperti timba masuk ke dalam sumur?” ia menjawab, Ya. Nabi bertanya lagi, tahukah engkau apa zina itu?” Ia menjawab, Ya, saya tahu, yaitu saya melakukan perbuatan yang haram dengan dia seperti seorang suami melakukan perbuatan halal dengan istrinya. Nabi bertanya lagi, “Apakah yang engkau maksud dengan perkataanmu ini? Ia menjawab, saya bermaksud supaya engkau dapat membersihkan aku (sebagai taubat). Begitulah, lalu dia diperintahkan oleh Nabi saw. Untuk dirajam. (HR. Abu Daud dan Daru quthni).

PENJELASAN
            Syarih rahimahullah berkata, perkatan “Ia tidak berbicara dengan sindiran” itu, maksudnya, bahwa Nabi saw. Menanyakan orang tersebut dengan kalimat yang tegas, bukan dengan kata kiasan.


HADIS KE-6
Bab mengaku berzina
Kitab Hadits   : Bulughul Maram
No                   : 1238
Bab                  : Had Zani (orang yang berzina)
Halaman          : 556
Cetakan           : XXVI (26)

١٢٣۸–وَعَنْ عِمْرَانَ ابْنِ حُصَيْنٍ رَضِي اللهُ عَنْهُ أَنَّ امْرَأَةً مِنْ جُهَيْنَةَ أَتَتِ النَّبِيَ صَلَّى الله عليه وسلٌم – وَهِيَجُبْلَى مِنَ الزِّنَا – فَقَالَتْ : يَا نَبِيَّ الله ، أَصَبْتُ حَدًّا، فَأَقِمْهُ عَلَيَّ , فَدَعَارسول الله صلى الله ععليه وسلم وَلِيَّهَا . فَقَالَ : (أَحْسِنْ إِلَيْهَا ، فَإِذَا وَضَعَتْ فَائْتِنِي بِهَا ) . فَفَعَلَ , فَأَمَرَ بِهَا فَشُكَّتْ عَلَيْهَا ثِيَابُهَا. ثُمَّ اَمَرَبِهَا فَرُجِمَتْ .ثُمَّ صَلَّى عَلَيْهَا فَقَالَ عُمَرُ : أَتُصَلِّى عَلَيْهَايَانَبِيَّ اللهِ وَقَدْ زَنَتْ ؟ فَقَالَ: ( لَقَدْ تَابَتْ تَوْبَةً لَوْ قُسِّمَتْبَيْنَ سَبْعِيْنَ مِنْأَهْلِ اْلمَدِيْنَةِ لَوْ سِعَتْهُمْ , وَهَلْ وَجَدْتَ أَفْضَلَ مِنْ أَنْ جَدَتْ بِنَفْسِهَا لِلَّهِ تَعَالَى ؟ ) . رواه مسلم.
Artinya:
 Dari Imran bin Hushain, bahwasanya seorang perempuan dari (suku) juhainah datang kepada Nabi saw. – sedang mengandung dari zina – lalu berkata : ya Nabiyallah ! saya wajib dihad, oleh itu jalankan-dia atas saya. Maka Rasulullah saw. Panggil walinya dan berbawalah dia kepadanya. Lantas apabila ia beranak, bawalah dia kepadaku”. Ia (Wali bagi perempuan itu) berbuat, lalu ia (Rasulullah) perintah supaya diurus dia, lalu dikemaskan atas pakaiannya, kemudian ia (Rasulullah) perintah supaya direjam dia, lalu direjam, kemudian ia (Rasulullah) disholatkan dia, ya Nabiyaallah !padahal ia telah berzina ? sabdanya :Sesungguhnya ia telah bertaubat, satu taubat yang sekiranya dibahagi dia antara tujuh puluh dari penduduk madinah, niscaya cukup buat mereka, karena adakah engkau dapati (seorang) lebih utama daripada (perempuan) yang menyerahkan dirinya karena Allah Ta’ala ?”
   Diriwayatkan-dia oleh Muslim


ASBAB AL-WURUD
·                     Kasus Al- ghamidiyah
            “ Sesungguhnya ada seorang perempuan yang dikenal dengan sebutan al-Ghamidiyah datang menghadap Rasulullah saw. Lalu ia berkata: Ya Rasulullah, sesungguhnya aku telah berbuat zina maka sucikanlah diriku! Tetapi perempuan itu ditolak oleh Rasulullah saw. Lalu esok paginya ia bertanya: Ya Rasulullah, mengapa engkau menolakku? Barangkali engkau menolakku sepertinya halnya engkau menolak Maiz? Sungguh aku kini sedang hamil! Kemudian Nabi saw. Bersabda: “Tetapi sekarang ini sekarang ini perginya dulu hingga engkau melahirkan. Lalu setelah melahirkan, ia datang kepada Rasulullah saw. Dengan membawa bayinya dalam buaian seraya ia berkata: Inilah aku telah melahirkan anakku. Nabi saw. Bersabda: “Maka tatkala ia telah menyapihnya, ia pun kemudian datang enghadap Nabi saw. Sambil membawa bayinya, sedang ditangannya ada sepotong roti, katanya: Ya Nabiyyallah, inilah anakku telah kusapih, te;ah dapat makan makanan. Lalu ia menyerahkan anaknya kepada seorang laki-laki muslim. Kemudian diperintahkan (untuk dirajam). Lalu ia ditanam setinggi dadanya, sedangkan orang banyak diperintahkanuntuk melemprinya dengan batu sehingga darahnya terpecik ke muka Khalid bin walid lalu ia mencacinya itu maka ia bersabda :”sabarlah wahai Khalid, demi dzat yang diriku berada dibawah kekuasaan-Nya, sungguh ia telah tobat denngan sungguh-sungguhnya, dimana kalau seandainya seorang pemungut cukai tobat seperti itu tentu di ampuni-Nya. Kemudian Nabi saw. Memerintah (untuk mensholatinya) maka ia pun dishalati lalu dikuburkan.[3]


HADITS KE-7
hukuman bagi perjaka dan gadis yang berzina adalah cambukan dan pengasingan.
Kitab hadits    : Tarjamah Bulughul Maram
No                   : 1232
Bab                  : Had Zani (orang yang berzina)
Halaman          : 550
Cetakan           : XXVI (26)

١٢٣٢- وَعَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصّامِتِ قَالَ : قَالَ رَسولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : خُذُوا عَنِّى ، فَقَدْجَعَلَ اللهُ لَهُنَّ سَبِيْلأ، الْبِكْرُ بِلْبِكْرِ جَلْدُ مِائَةَ وَنَفْيُ سَنَةٍ، وَالثَّيْبِ جَلْدُ مِائَةِ وَالرَّجْمُ. (رواه مسلم)


TERJEMAHAN
Artinya:
Dari ‘Ubadah bin Shamit. Ia berkata : telah bersabda Rasulullah saw. “Ambillah (hukum) daripada-ku !karena sesungguhnya Allah telah bukakan jalan bagi mereka  (Perempuan-perempuan ya’ni Allah telah adakan hokum atas perempuan yang berzina), (yaitu) perawan dan teruna dera seratus dan pengasingan setahun ; dan yang sudah berkahwin dengan yang sudah berkahwin dera seratus dan rejam.
          Diriwayatkan-dia oleh Muslim
PENJELASAN
          Maksud dari hadits yang kedua ini adalah perawan dan yang belum pernah menikah berdasarkan hadits ‘Ubadah bin Shamit “perawan dan yang belum pernah menikah apabila berzina hukumannya  di dera seratus kali dan pengasingan selama setahun dan orang yang pernah kawin (yang berzina) dengan orang yang pernah kawin (hukumannya) dera seraus kali dan dilempari batu hingga mati (rajam).

PERBEDAN FUQAHA DALAM MENGISTIMBATHKAN HUKUM DARI HADITS YANG DIATAS
            Perbedaan pendapat fuqaha tentang apakah dera dan rajam harus dipadukan? Ulama dhahiriyah berpendapat wajibnya dipadukan antara dera dan rajam bagi pelaku zina muhshan. Pendapat seperti ini juga terdapat dalam salah satu riwayat dari Imam Ahmad Rah. Sedang Jumhur berpendapat bahwa hukumannya hanyalah rajam. Ini pendapat sebagian Sahabat, Tabi’in, Fuqaha dan riwayat lain dari Imam Ahmad. [4]


HADITS KE 8
Kitab Hadits   : Bulughul Maram
No                   : 1242
Bab                  : Had Zani (orang yang berzina)
Halaman          : 558-559
Cetakan           : XXVI (26)
١٢٤٢- وَعَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا ، أَنَّ النَّبِيَّ صم قَالَ: وَمَنْ وَجَدْتُمُوهُ يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوْطٍ فَاقْتُلوا الْفَاعِلَ وَالْمَفْعُوْلَ بِهِ ، وَمَنْ وَجَدْتُمُوهُ وَقَع َعَلَى بَهِيْمَةٍ فَاقْتُلُوهُ وَاقْتُلُوا الْبَهِيْمَةَ. رَوَاهُ أَحْمَدُ، والآَرْبَعَةُ ، وَرِجَالُهُ مَوَثَّقُوْنَ ، ألا أَنَّ فِيْهِ اخْتِلافًا .

TERJEMAHAN
Artinya:
Dari ibnu Abbas bahwasannya nabi saw. Bersabda: siapa-siapa kamu dapati dia mengerjakan perbuatan qaum luth, bunuhlah yang berbuat dan yang dibuat, dan barangsiapa kamu dapati menjima’ binatang, bunuhlah dia dan bunuhlah binatang itu.
Diriwayatkan-dia oleh Ahmad dan empat dan rawi-rawinya orang-orang yang dianggap kepercayaan, tetapi ada padanya perselisihan.

PENJELASAN:
Kejahatan yang abnormal ini adalah kejahatan yang sangat buruk dan keji yang tidak dikerjakan hatta oleh hewan, kita hamper tidak menemukan ada hewan jantan yang melakukan hubungan seks dengan sesamanya, tetapi kelainan ini tampaknya hanya ada pada manusia. Oleh, karena itu bolehlah kami katakan bahwa kejahatan macam ini merupakan suatu penyimpangan (keburukan perangai) dan penyakit kejiwaan yang cukup berbahaya yaitu suatu penyimpangan fitrah yang seharusnya diambil tindakan yang memadai.

PERBEDAAN PENDAPAT FUQAHA TENTANG HADITS INI
Fuqaha berbeda pendapat tentang hukuman yang harus dikenakan. Dalam hal ini ada tiga pendapat, yaitu :

Pendapat madzhab pertama
Pendapat pertama ini adalah pendapat imam Malik, Ahmad dan salah satu diantara dua qaul asy syafi’I, mereka berkata bahwa hukumannya adalah dibunuh, baik yang masih bujangan maupun yang sudah kawin, baik fa’il maupun maf’ul bihnya.
Dalil-dalil mereka:
·         “ siapa saja yang kamu dapatkan melakukan praktek kaum nya luth maka bunuhlah fa’il dan maf’ul bihnya” (HR. Lima imam kecuali Nasa’I dari Ibnu Abbas ra)
·         Riwayat dari Ali karramallah wajhah, bahwa ia pernah merajam (pelaku) perbuatan seperti ini, yakni pelaku perbuatan seperti kaumnya luth.
·         Mereka juga berpegang dengan riwayat dari Abu Bakar ra. Bahwa ia pernah mengumpulkan sejumlah sahabat Nabi lalu ia bertanya kepada mereka tentang laki-laki yang dicampuri sebagaimana orang perempuan, maka pada saat itu yang paling berat jawabannya adalah Ali bin Abi Thalib, yaitu ia berkata:
“ ini suatu dosa yang tidak dilakukan oleh umat-umat terdahulu melainkan oleh satu umat yang telah ditindak oleh Allah sebagaimana telah kami ketahui, maka kami berpendapat (hukumannya) dibakar denga api.

Cara menghukum mati
Kemudian mereka berpendapat tentang cara menghukum mati. Dalam hal ini ada beberapa pendapat:
a.       Dipotong lehernya. Ini berdasarkan riwayat dari Abu Bakar dan Ali
b.      Dilempari batu hingga mati. Ini berdasarkan riwayat dari Ibnu Abbas dan inilah yang diikuti Imam Malik dan Ahmad
c.       Dijatuhkan dari tempat yang tinggi. Ini masyhur dikalangan madzhab Maliki.
d.      Dibenturkan ke dinding. Ini berdasarkan riwayat dari Abu Bakar Ash shidiq ra.
Mereka menyebutkan macam-macam hukuman ini karena Allah SWT. Mengadzab kaum luth dengan macam-macam hukuman seperti itu. Allah berfirman: “maka kami jadikan negeri kaum  luth itu yang diatas menjadi di bawah dan kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar bertubi-tubi ”.(QS. Hud 11:82). Sedang adzab yang pedih ini menimpa mereka tidak lain karena besarnya dosa.

Pendapat Madzhab Kedua
            Golongan syafi’iyah berpendapat bahwa hukuman liwath adalah seperti hukuman (had) zina, yaitu didera bagi yang masih bujangan dan dirajam bagi yang sudah kawin.  Pendapat ini berdasarkan riwayat dari sebagian Tabi’in seperti Atha, Qatadah, Nakha’I, Sa’is bin Musayad dan lain-lain.
a.       Dari abu Musa al-Asy’ari ra., bahwa Nabi saw. Bersabda:
“Apabila laki-laki mencampuri laki-laki maka keduannya berzina”.
Hadist ini menunjukkan bahwa hokum perbuatan liwath adalah sama dengan zina.
b.      Mereka berpendapat berdasarkan pikiran sebagian sebagai berikut: bahwa zina itu satu ungkapan tentang masuknya kemaluan dalam vagina yang secara tabi’I disukai dan secara syar’I dilarang, sedang dubur juga suatu lubang sedang qubul disebut faraj sebab padanya terdapat lubang padahal dubur juga demikian, maka hukumannya pun sama.

c.       Sedang dasar qiyas yaitu: sesungguhnya dalil-dalil tentang zina meskipun tidak mencangkup perbuatan liwath tetapi dapat disamakan dengan jalan qiyas, sebab menyalurkan nafsu seks selain dapat disalurkan melalui qubul (vagina) dapat jug melalui dubur, dimana keduanya sama-sama diingini, sedang perbuatan itu keji maka (kalau zina dikenai) had deikian pula halnya dengan liwath.


Pendapat Madzhab Ketiga
    Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa liwath adalah kejahatan besar dan keji tetap tidak seperti zina, maka hukumannya jua tidak sama dengan hukuman zina hanya cukup ta’zir. Pendapat mereka ini didasarkan kepada:
a.       Bahwa “liwath” menurut bahasa tidak sama dengan “zina” sebab zina itu ialah “laki-laki yang mencampuri perempuan pada vagina (qubul)” sedang liwath yaitu “ laki-laki mencampuri sesama laki-laki pada duburnya”. Ketahuilah bahwa al-Qur’an membedakan antara keduanya dimana Allah berfirman dalam rangka mengkisahkan kaum Luth:
Mengapa kamu mendatangi laki-laki untuk (memenuhi) nafsu (mu) dan bukan (mendatangi) perempuan? Sebenarnya kamu adalah satu kaum yang jahil/ tolol”. (QS. An-Naml 27:55)
          Dari firman-Nya (artinya): “ Mengapa kamu mendatangi jenis laki-laki diantara manusia dan kamu tinggalkan istri-istri yang dijadikan oleh tuhanmu untukmu, bahwa kamu adalah orang-orang yang melampaui batas”. ( QS. As-Syu’ara 26: 165-166)
          Dalam ayat-ayat ini Allah menisbatkan mereka kepada “kejahilan

b.      Mereka berkata: Menurut ‘uruf tidak benar sebab orang yang berbuat  mesum dengan wanita disebut “zina” sedang orang yang berbuat mesum dengan sesamalaki-laki disebut “luth”. Istilah ini sudah dikenal orang sejak dahulu kala. Ketahui. Bahwa kalau ada orang yang bersumpah utnuk tidak berbuat zina kemudian ternya ia melakukan pebuatn luthiyah/liwath maka ia tidak dapat dikatakan melanggar sumpahnya.

c.       Mereka berkata pula: bagaimana mungkin liwath itu disamakan dengan zina sedang sahabat Nabi masih berselisih pendapat tentang hukumnya padahal mereka lebih tahu tentang bahasa dan alur bahasa maka kalau seandainya liwath itu zina tentu mereka sudah merasa cukup dengan nash al-qur’an sehingga tidak lagi memerlukan ijtihad yang menimbulkan ikhtilaf.

d.      Mereka juga berpengangan dengan hadits yang berbunyi:
Tidak halal (menumpahkan) darah orang islam melainkan dengan salah-satu dari ketiga (sebab) yaitu: zina muhshan. Kufur sesudah iman (murtad yang memusuhkan agama) dan membunuh jiwa tanpa alas an yang dibenarkan.”

TARJIH
Al-‘allamah as-Syaukani memandang kuat pendapat (madzhab) pertama yang menetapkan hukuman mati dan ia memandang lemah pendapat yang lain yaitu golongan syafi’iyah dan Hanafiah. Barangkali (pendapat pertama) inilah yang benar, sebab besarnya kejahatan ini (liwath) dapat mengakibatkan besarnya hukuman sehingga kejahatan macam ini dapat tercabut sampai ke akar-akarnya dan tidak ada jalan yang lebih baik dan lebih efektif selain menghukum mati pelakunya dengan dibakar, dipenggal, dirajam atau dijatuhkan dari tempat yang tinggi agar supaya menjadi pelajaran bagi yang lain dan itu berarti melaksanakan sabda Nabi saw. “barangsiapa yang kamu jumpai melakukan amalan kaum Luth maka bunuhlah fa’il dan maf’ul bihnya”.[1]


HADITS KE 9
Kitab Hadits   : Bulughul Maram
No                   : 1236
Bab                  : Had Zani
Halaman          : 554
Cetakan           : XXVI (26)

٢/١١۳۳- وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلُ اللهِ صم يَقُوْلُ : أِذَا .َنَتْ أَمَةُ أَحَدِكُمْ فَتَبَيَّنَ زِنَاهَا فَلْيَجْلِدْهَا الْحَدَّ ؟ ولاَ يُثَرِّبْ عَلَيْهَا ، ثُمَّ أِنْ زَنَتْ فَلْيَجْلِدْهَا الْحَدَّ ، ولاَ يُثَرِّبْ عَلَيْهَا ، ثُمَّ أِنْ زَنَتِ الْثَّالِثَةَ فَتَبَيَّنَ زِنَاهَا فَليَبْعِهَا وَلَوْ بِحَبْل مِنْ شَعَرٍ . مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ ، وَهَذَا مُسْلِمٌ .
Artinya:
Dari abi hurairah ia berkata: saya dengar rasulullah SAW bersabda : apabila jariyah seorang dari pada kamu berzina dan ternyata zinanya, maka hendaklah ia dera dia dengan pukulan dan jangan ia berlaku keras kepadanya : kemudian jika ia berzina hendaklah ia dera dia dengan pukulan-pukulan dan jangan berlaku keras atasnya, kemudian jika ia berzina yang ketiga kalinya, dan ternyata zinanya maka hendaklah ia jual dia walaupun dengan (harga) selembar rambut.


PENJELASAN HADIS 9
1.      Menurut hadis diatas bahwa jariyah yang berzina hendaklah dikenakan hokum dera. Akan tetapi pada hadis tersebut tidak diterangkan apakah jariyah itu perawan atau tidak, dan tidak disebut pula berapa deranya, tetapi menurut ayat 25 surat an-Nisa’ bahwa hamba perempuan yang bukan perawan dihukum separuh dari hukuman perempuan merdeka.
2.      Perempuan yang merdeka terbagi dua, yaitu: perempuan yang sudah pernah menikah. Perempuan merdeka yang bukan perawan hukumannya adalah dirajam sampai mati, sedangkan


HADITS KE- 10
Kitab Hadits      : Tarjamah Bulughul Maram
No                      : 1241
Bab                    : Had Zani
Halaman                        : 557
Cetakan             : XXVI (26)
١٢٤١ عَنْ سَعِيْدِ بْنِ عُبَادَةَ قَالَ : كَانَ فِيْ اَبْيَاتِنَا رُوَيْجِلٌ ضَعِيْفٌ ، فَخَبَثَ بِاَمَةٍ مِنْ اِمَائِهِمْ ، فَذَكَرَ ذَلِكَ سَعِيْدٌ لِرَسُوْلِ اللهِ صم فَقَالَ (اضْرِبُوه حَدَّهُ) فَقَالُوْا : يَارَسُوْلَ اللهِ ، اِنَّهُ أَضْعَفُ مِنْ ذَلِكَ ، فَقَالَ (خُذُوْا عِثْكَالاً فِيْهِ مِائَةُ شِمْرَاخٍ ثُمَّ اضْرِبُوْهُ بِهِ ضَرْبَةً وَاحِدَةً ) فَفَعَلُوْهُ. رواه اَحْمَدُ وَالنَّسَائِيُّ وَابْنُ مَاجَهْ، وَاِسْنَادُهُ حَسَنٌ، لَكِنِ اخْتِلَفَ فِيْ وَصْلِهِ وَارْسَالِهِ.

Artinya:
            Dari sa’id bin sa’ad bin ‘Ubadah, ia berkata : adalah di kampong kami seorang laki-laki kecil (dan) lemah, lalu ia berzina dengan seorang jariyah dari jariyah-jariyah mereka. Sa’id sebut yang demikian kepada Rasulullah saw. Lalu ia berkata : “kenakanlah atas nya deranya”. Mereka berkata : Ya Rasulullah ! Ia lemah buat demikian. Sabdanya : “Ambillah seberkas yang padanya ada seratus ranting, kemudian pukulkan dia padanya dengan sekali pukul”, lalu mereka kerjakan.
            Diriwayatkan dia oleh Ahmad dan Nasa’I dan Ibnu Majah dan isnadnya hasan, tetapi ada perselisihan tentang maushulnya dan mursalnya.
PENJELASAN HADIS KE 10
·         Hadis tersebut, lantaran perselisihannya, ada merasa yang tidak setuju lantaran satu kalipukul dengan seratus ranting itu tidak merupakan sebagai siksaan atas satu perbuatan yang sudah ditentukan satu siksaan yang pedih.
·         Pertanyaan: Jika begitu, bagaimanakah seharusnya disiksa penzina yang lemah itu? Dijawab: Didalam hal yang begini belum saya lihat lain-lain nash. Menurut pertimbangan, bilagan deranya dan besar kecil pecutnya sama dengan yang lain, tetapi orang lemah dicicil, yakni dipukul beberapa kali, lantas dibiaran beberapa ketika, lalu dipukul lagi.




Mu’ammal Hamidy & Drs. Imron A. Manan. “Terjemahan tafsir ayat ahkam Ash-Shabuni”.(PT Bina Ilmu: Surabaya. 2007, Cetakan.5). hal. 108-115





[1] Mu’ammal Hamidy & Drs. Imron A. Manan. “Terjemahan tafsir ayat ahkam Ash-Shabuni”.(PT Bina Ilmu: Surabaya. 2007, Cetakan.5). hal. 87
[2] Mu’ammal Hamidy & Drs. Imron A. Manan. “Terjemahan tafsir ayat ahkam Ash-Shabuni”.(PT Bina Ilmu: Surabaya. 2007, Cetakan.5). Hal.118-120
[3] Mu’ammal Hamidy & Drs. Imron A. Manan. “Terjemahan tafsir ayat ahkam Ash-Shabuni”.(PT Bina Ilmu: Surabaya. 2007, Cetakan.5). hal. 120

[4] Mu’ammal Hamidy & Drs. Imron A. Manan. “Terjemahan tafsir ayat ahkam Ash-Shabuni”.(PT Bina Ilmu: Surabaya. 2007, Cetakan.5). hal. 85