TAHAMMUL WAL ADA’
Diajukan untuk memenuhi tugas Ulumul Hadist yang di bimbing oleh :
Ibu Sri Wahyuni


Disusun Oleh :
Hera Susanti / 141209627
Suci Lestari / 141209631

Jurusan           : SJS (Syari’ah Jinayah Wa Siyasah)
Fakultas          : Syari’ah
Universitas      : IAIN AR-RANIRY
Tahun             : 2012 / 2013


Kata Pengantar
     Puji dan syukur hanya kepada Allah S.W.T., yang telah memilih sahabat mulia sebagai pendamping nabi-Nya. Selawat dan salam kepada nabi Muhammad Saw yang merupakan ikutan para wali dan pembawa rahmat kepada seluruh alam.
     Makalah ini merupakan salah-satu usaha kami untuk dapat menjelaskan dan memahami tentang Tahammul wa ‘ada yang akan kami bahas secara jelas.
     Kami berharap agar makalah ini dapat menjadi sesuatu yang dapat membina inspirasi hakiki, dan menjadi tambahan bacaan yang bermamfaat bagi siapa saja.
     Permohonan maaf yang sebesar-besarnya apabila terdapat banyak kesalahan dalam penulisan. kritik dan saran dari pembaca sangat kami harapkan, sebagai upaya perbaikan kearah yang lebih baik, dan sebagai bentuk perhatian cinta terhadap ilmu pengetahuan khususnya sejarah Peradaban Islam.

Banda Aceh, 5 November 2012


Kelompok 11

BAB 1
PEMBAHASAN
1.1   Latar Belakang
 Allah telah memberikan kepada umat Nabi Muhammad Saw, para pendahulu selalu menjaga Al-Quran dan Al-Hadist Nabi. Mereka adalah orang-orang jujur, amanah, dan memegang janji, sebagian diantara mereka mencurahkan perhatiannya terhadap al-Qur’an dan ilmunya yaitu para mufassirin. Manusia dalam hidupnya membutuhkan berbagai macam pengetahuan. Seseorang yang telah mempelajari hadits dengan sungguh-sungguh dengan cara yang benar memiliki beberapa kode etik yang harus dia jaga dan dia pelihara, baik ketika masih menjadi pelajar itu sendiri atau ketika dia sudah mengajarkannya kepada orang lain kelak. Di dalam ilmu hadits hal ini dikenal dengan istilah at tahammul wal ada’. Di dalam makalah ini akan dibahas cara perimaaan dan periwayatan hadis yang disebut dengan At-Tahammul wa Al-'Ada.
Para ulama hadis telah bersusah payah mengusahakan adanya ilmu hadis ini, lalu mereka membuat beberapa kaidah (batasan-batasan) dan berbagai syarat dengan berbagai bentuk yang cermat dan banyak sekali. Mereka telah mengidentifikasi antara 'tahammul hadis' selanjutnya, mereka menjadikannya beberapa tingkatan, dimana bagian satu dengan yang lain tidaklah sama artinya ada yang lebih kuat, hal itu merupakan penguat dari mereka untuk memelihara hadis Rasulullah Saw dan memindahkan dengan baik dari seseorang kepada orang lain. Disamping itu mereka yakin bahwa cara yang seperi ini adalah cara yang paling selamat dan cara yang paling cermat. 

2.1   Rumusan Masalah
Untuk memaparkan dan menjelaskan tentang tahammul wa ‘ada, diantaranya :
1.      Apa itu Tahammul wa ‘ada?
2.      Syarat-syarat seorang Perawi?
3.     Bagaimana Metode Penerimaan dan Penyampaiannya Hadits?

3.1   Tujuan
 Sesuai dengan rumusan masalah tersebut maka tujuan pemakalah adalah memberikan pemahaman tentang:
1.      Pengertian Tahammul wa ‘ada.
2.      Menyebutkan syarat-syarat seorang Perawi.
3.     Menjelaskan dan menyebutkan bentuk-bentuk metode penerimaan dan Penyampaian Hadist.


                                                                            BAB 2     
PEMBAHASAN

Tahamul Wa Ada’ul-Hadits

1.      Pengertian Tahammul Wa Ada’ul-Hadist
a.      Tahammul al-hadist
     Ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengan tahamul adalah “mengambil atau menerima hadits dari seorang guru dengan salah satu cara tertentu. Dalam masalah tahamul ini sebenarnya masih terjadi perbedaan pendapat di antara para kritikus hadits, terkait dengan anak yang masih di bawah umur (belum baligh), apakah nanti boleh atau tidak menerima hadits, yang nantinya juga berimplikasi-seperti diungkapkan oleh al Karmani-pada boleh dan tidaknya hadits tersebut diajarkan kembali setelah ia mencapai umur baligh ataukah malah sebaliknya.

b.      Penerimaan Anak-anak orang kafir dan orang fasik
Jumhur ulama hadis berpendapat, bahwa penerimaan periwayatan suatu hadis oleh anak yang belum sampai umur dianggap sah bila periwayatan hadis tersebut disampaikan kepada orang lain pada waktu sudah mukallaf. tanpa mempermasalahkan apakah mereka telah balig atau belum. Dalam menerima hadis tidaklah disyaratkajn Islam dan baligh, namun hal itu hanya disyaratkan dalam menyampaikannya. Dan berdasarkan atas hal itu maka riwayat seorang muslim yang sudah baligh terhadap hadis yang dia terima sebelum masuk Islam dan sebelum dia baligh bisa diterima, namun bagi orang yang belum baligh harus tamyiz.
Penerimaan hadis bagi orang kafir dan orang fasik, ulama hadis menganggap sah, asalkan hadis tersebut diriwayatkan kepada orang lain pada saat mereka telah masuk Islam dan bertobat. Alasannya adalah kejadian yang mereka saksikan dan bayaknya sahabat yang mendengar Nabi SAW sebelum mereka masuk Islam.


c.       Ada’ul al-Hadist
Ada’ secara etimologis berarti sampai/melaksanakan. Secara terminologis Ada’ berarti sebuah proses mengajarkan (meriwayatkan) hadist dari seorang guru kepada muridnya. Pengertiannya adalah meriwayatkan dan menyampaikan hadits kepada murid, atau proses mereportasekan hadits setelah ia menerimanya dari seorang guru.
Karena Tidak semua orang bisa menyampaikan hadits kepada orang lain, Dalam hal ini mayoritas ulama hadits, ushul, dan fikh memiliki kesamaan pandangan dalam memberikan syarat dan kriteria bagi pewarta hadist, yang antara lain:
Ø  Ketahanan ingatan informator (Dlabitur Rawi)
Ø  integritas keagamaan (‘Adalah) yang kemudian melahirkan tingkat kredibilitas (Tsiqatu1r Rawi).
Ø  Mengetahui maksud-maksud kata yang ada dalam hadits dan mengetahui arti hadits apabila ia meriwayatkan dari segi artinya saja (bil ma’na).
 Sifat adil ketika dibicarkan dalam hubungannya dengan periwayatan hadits maka yang dimaksud adalah, suatu karakter yang terdapat dalam diri seseorang yang selalu mendorongnya pada melakukan hal-hal yang positif, atau orang yang selalu konsisten dalam kebaikan dan mempunyai komitmen tinggi terhadap agamanya.

d.      Syarat-syarat seorang perawi
Syarat-syarat yang harus terpenuhi seseorang ketika menyampaikan riwayat hadits sehingga periwatannya dinyatakan sah ialah orang itu harus :
1.      Beragama Islam.
2.       Baligh.
3.       Berakal.
4.      Tidak fasiq.
5.      Tidak terdapat tingkah laku yang mengurangi atau menghilangkan kehormatan (muru’ah).
6.       Mampu menyampaikan hadits yang telah dihafalnya.
7.      Sekiranya dia memiliki catatan hadits, maka catatan itu dapat dipercaya.
8.      Mengetahui dengan baik apa yang merusakkan maksud hadits yang diriwayatkannya secara makna. 
Rawi menjadi bagian yang dinilai untuk shahih tidaknya suatu hadits sehingga perawi haruslah memiliki sifat-sifat khusus semisal: Bukan pendusta, Tidak banyak salahnya, Tidak kurang ketelitiannya, Bukan fasiq, Bukan orang yg banyak keraguan, Bukan ahli bid’ah
Dan juga seorang perawi, benar–benar memiliki pengetahuan bahasa arab yang mendalam. Diantaranya, perawi harus seorang ahli ilmu Nahwu, sharaf dan ilmu bahasa, mengerti konotasi lafadz dan maksudnya, memahami perbedaan–perbedaan dan mampu menyampaikan hadits dengan tepat.
Perawi dalam kondisi terpaksa. Lupa susunan harfiahnya, sedangkan kandungan hadits tersebut sangat diperlukan. Hal ini dianggap baik dari pada tidak meriwayatkan suatu hadits, atau enggan meriwayatkan hadits dengan alasan lupa lafadznya sementara nilai pokok (hukum) yang terkadung dalam hadits tersebut sangat diperlukan ummat Islam.
Sifat-sifat hadits yang diterima:
§  Sanadnya harus muttasil (bersambung), artinya tiap-tiap perawi betul-betul mendengar dari gurunya. Guru benar-benar mendengar dari gurunya, dan gurunya benar-benar mendengar dari Rasulullah SAW.
§   Perawi harus adil. Artinya, perawi tersebut tidak menjalankan kefasikan, dosa-dosa, perbuatan dan perkataan yang hina. Perawi yang adil adalah perawi yang muslim, baligh (dapat memahami perkataan dan menjawab pertanyaan), berakal, terhindar dari sebab-sebab kefasikan dan rusaknya kehormatan.
§   Betul-betul hafal.
§  Tidak bertentangan dengan perawi yang lebih baik dan lebih dapat dipercaya.
§   Tidak berillat, yakni tidak memiliki sifat yang membuat haditsnya tidak diterima.





d.      Metode Penerimaan dan Penyampaiannya Hadits
      Metode dan kalimat yang digunakan dalam Tahammul dan Ada’ 8 macam :
1.      SAMA’, Mendengarkan hadits langsung dari syekh.
Prakteknya :
     Seorang syeikh membaca hadist dan seorang murid mendengarkannya, baik dia membaca dari kitabnya atau dari hapalannya. Di pesantren-pesantren Indonesia. Cara ini disebut Bandungan/Bandongan. Jika murid itu meriwaytkan dengan cara ini, maka dia hendaknya berkata : Sami’tu….” Aku mendengar atau dia bercerita kepadaku”, jika dia sendirian. Atau : “Dia bercerita kepda kami”, jika ada orang lain bersamanya (Bahasa yang bisa digunakan: Sami’tu, Smi’na, Haddatsanii, Haddatsanaa, Akhbaronii, Akhbaronaa, Anba-anii, Anba-anaa, Qoola lii, Qoola lanaa, Dzakaro lii, Dzakaro lanaa).

8.      AL-‘ARDH (Membaca di depan syeikh), Di pesantren pesantren, Method ini diistilahkan dengan “Ngaji Sorogan”.
Prakteknya :      
     Seorang murid atau orang lain membaca hadits-hadits yang diriwayatkan oleh seorang syeikh, sementara syeikh mendengarkan bacaan muridnya, baik bacaan itu berasal dari hafalan atau dari sebuah kitab, baik seorang syeikh itu mengoreksi pembaca itu dari hafalannya sendiri atau dia memegang kitabnya.
Kata-kata yang digunakan ketika menyampaikannya.
     Jika seorang murid akan meriwayatkan dari syeikh dengan metode ini, maka dia dapat berkata : Qoro’tu, “Aku membaca di hadapan syeikh” atau Quri’a ‘alayya“ Dibacakan di hadapannya dan aku mendengar”.atau Anba-ani

9.      AL-IJAZAH (pemberian ijin)
Prakteknya :     Seorang syeikh berkata kepada salah seorang muridnya : “Aku mengijinkan kamu untuk meriwayatkan hadits-haditsku atau kitab-kitabku dariku”.
     Hukum meriwayatkan hadits dengan metode ini. Para ulama berbeda pendapat tentang kebolehannya, yaitu :
·         Tidak boleh. Ibnu Hazm berkata : “Itu adalah bid’ah, tidak boleh”.
·          Boleh. Dan ini adalah pendapat jumhur.

10.  AL-MUNAWALAH (Memberikan)
Prakteknya : ada dua macam,
1)      Munawalah, yang diiringi dengan ijazah
Prakteknya,
 Seorang syeikh memberikan sebuah kitab kepada seorang murid dan dia berkata : “Ini adalah yang aku dengarkan dari fulan atau ini adalah karanganku. Maka riwayatkanlah dariku”.



Hukum meriwayatkannya adalah boleh menurut jumhur.
2)      Munawalah yang tidak diiringi dengan ijazah
      Prakteknya,
 Seorang syeikh memberikan sebuah kitab kepada seorang murid dan dia berkata : “Ini adalah hadits yang aku dengarkan”. Hukum meriwayatkannya tidak boleh menurut jumhur ahli hadits, ahli fiqih dan ushul fiqih.
Kata-kata yang digunakan untuk menunaikannya.
§  Naawalanii Hadzal kitab “Si Fulan telah memberikan kitab kepadaku”.
§  “Dia bercerita kepadaku dengan metode munawalah” atau dia bercerita kepadaku dengan metode munawalah”.

11.  AL-KITABAH, (Tulisan)
Prakteknya ada 2 (dua) dua macam, yaitu :
1)      Kitabah yang diirngi dengan ijazah
           Bentuknya a, seorang syeikh menulis haditsnya dengan tangannya atau mengijinkan seseorang kepercayaannya untuk menulis dan mengirimkannya kepada muridnya dan mengijinkannya untuk meriwayatkan darinya. Hukum meriwayatkannya
boleh. Imam Bukhari berkata : “Tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini”.

2)      Kitabah yang tidak diiringi dengan ijazah
   Prakteknya,
               seorang syeikh menulis haditsnya dengan tangannya atau mengijinkan seseorang kepercayaannya untuk menulis hadits dan mengirimkannya kepada muridnya dan dia tidak mengijinkannya untuk meriwayatkannya darinya.
Hukum meriwayatkannya ada dua :
 BolehIni adalah pendapat kebanyakan ulama
Tidak boleh


Kata-kata yang digunakan
§  Jika seorang murid akan meriwayatkan dengan metode ini, maka dia boleh berkata :
“Telah ditulis kepada seseorang”.
§  “Fulan bercerita kepadaku dengan cara tulisan” atau “dia memberitahu kepadaku dengan cara tulisan”.

12.  AL-I’LAM (Pemberitahuan)
Prakteknya :
     Seorang syeikh memberitahukan kepada seorang murid bahwa hadits-hadits ini dia dengarkan dari sifulan atau kitab ini dia riwayatkan dari sifulan, baik dia mengijinkan untuk meriwayatkan darinya atau tidak.
     Hukum meriwayatkannya ada dua,
1)      Boleh
2)      Tidak boleh, kecuali jika syeikh itu mengijinkannya. Ini adalah pendapat kebanyakan ahli hadits, fiqih dan ushul fiqih.
                  Kata-kata yang digunakan Seorang murid berkata :
“Syeikhku memberitahukan kepadaku dengan ini … “.

13.  AL-WASHIYYAH (wasiat/mewasiatkan)
Prakteknya
            seorang syeikh memberikan wasiat kepada seseorang dengan sebuah kitab yang dia riwayatkan sebelum kematiannya atau sebelum kepergiannya kepada seseorang.
Hukum meriwayatkannya ada 2 :
1)      Boleh. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Syeikh Ahmad Syakir. Ibnu Sholah
berkata : “Ini jauh sekali”. An Nawawi berkata : “Ini adalah kesalahan. Yang benar adalah tidak boleh”.
2)      Tidak boleh. kecuali jika murid itu mendapatkan ijin (ijazah) dari syeikh itu.




14.  A-WIJADAH (menemukan)
Prakteknya
            Seorang murid menemukan sebuah hadits atau sebuah kitab yang ditulis oleh seseorang yang dia tidak mendengar secara langsung darinya dan dia tidak mendapatkan ijazah darinya.
Hukum meriwayatkannya : tidak boleh.
Kata-kata yang digunakan untuk menunaikannya
            Jika seorang murid hendak meriwayatkan dari seorang syeikh dengan metode ini, maka dia boleh berkata : “Aku menemukan tulisan seseorang”.




BAB 3
PENUTUP

 Kesimpulan
     At-Tahammul adalah proses menerima periwayatan sebuah hadits dari seorang guru dengan metode-metode tertentu. Sedangkan al-Adâ adalah adalah proses (untuk) menyampaikan dan meriwayatkan hadits.
     Mayoritas ulama cenderung membolehkan kegiatan mendengar yang dilakukan oleh anak kecil, yakni anak yang mencapai usia taklîf. Sedang sebagian mereka tidak memperbolehkannya. Ulama yang membolehkan juga masih berbeda pendapat mengenai batas usia anak boleh diterima periwayatannya, pendapat pertama mengatakan lima tahun sedangkan pendapat yang kedua mengatakan tamyîz.
 Syarat kelayakan al-Adâ’ adalah: Islâm, Bâligh, ‘Âdil dan Dhabth. Sedangkan metode dalam at-tahammul wa al-adâ’ adalah melalui beberapa jalan yaitu as-Samâ’, al-Qirâ’ah ‘alâ Syaikh, al-Ijâzah, al-Munâwalah, al-Mukâtabah, I’lâm asy-Syaikh, al-Washiyyah dan al-Wijâdah.

Saran
Adapun saran yang kami harapkan setelah pembaca membacanya, adalah semoga makalah ini bermamfaat dan menjadi bahan referensi untuk menambah khazanah keilmuan dan pendidikan.
     Serta semoga pembaca tidak merasa cukup puas akan makalah ini, sehingga masih dapat membandingkan dan mencari refensi lain diluar sana. Saran yang baik sangat kami butuhkan agar kedepannya kami dapat menyusun makalah dengan baik dan benar.


Daftar Pustaka
‘Ajjajj, Muhammad al-Khathib, Ushûl al-Hadîts: Pokok-pokok Ilmu Hadits , Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001
Azami, M.M. Memahami Ilmu Hadits, Terj. Meth Kieraha, Jakarta: Lentera, 1993
Mudasir, Ilmu Hadits, Bandung: Pustaka Setia, 2005.
Zainimal, Ulumul Hadits, Padang: The Minangkabau Foundation, 2005












0 komentar:

Posting Komentar