Etnis Rohingya
Rohingya
adalah nama kelompok etnis yang kebanyakanberagama Islam dan tinggal di negara
bagian Arakan/Rakhine sejak abad ke 7
Masehi (778 M). ada beberapa versi tentang asal kata “Rohingya”. Rohingya
berasal dari kata “Rohan” atau “Rohang”. Versi lain menyebutkan bahwa istilah Rohingya disematkan oleh
peneliti Inggris Francis Hamilton pada abad ke 18 kepada penduduk muslim yang
tinggal di Arakan.
Etnis Rohingya tinggal di perbatasan Myanmar
dan Bangladesh sejak wilayah itu masih menjadi jajahan Inggris. Ketika Arakan
berada di bawah aneksasi Inggris banyak orang India dan Bangladesh yang
melakukan migrasi ke Arakan, dan sejak kemerdekaan Burma (sekarang Myanmar)
pada 4 Januari 1948, pemerintah telah menyatakan migrasi tersebut adalah
illegal dan menyatakan bahwa Rohingya adalah keturunan Bengali serta menolak
untuk mengakui mereka sebagai etnis dan warga negara Myanmar. Sehingga setelah
negara itu merdeka, etnis Rohingya terus mendapat perlakuan buruk dan kerap
mengalami kekerasan dan diskriminasi.Keberadaan mereka tidak diakui sebagai
salah satu etnis yang eksis di Myanmar dari 136 etnis.
Etnis
Rohingya bukanlah orang Bangladesh ataupun etnis Bengali, banyak orang Rohingya
yang merupakan keturunan campuran dari orang Arab dan warga lokal. Arakan sendiri adalah nama kerajaan Bengal di
sisi Timur daerah yang kini bagian dari Bangladesh yang eksis sejak abad ke 8
Masehi. Kerajaan Arakan sebelum bergabung dengan Union of Myanmar pada
tahun 1948 berturut-turut dikuasai oleh kerajaan Hindu, kerajaan Islam (pada
abad 15-18), dan Buddhist.
Saat ini
Arakan adalah negara bagian dari Union of Myanmar yang terletak di sisi
barat laut Myanmar berbatasan dengan Bangladesh.Namun etnis Rohingya mengalami
intoleransi oleh karenanya mereka dianggap berbeda. Karena agama berbeda
(muslim), identitas etnis berbeda, serta memiliki ciri-ciri fisik plus bahasa
yang berbeda. Oleh karenanya mereka (Rohingya) selalu menjadi subjek penyiksaan
sejak tahun 1962 ketika Rezim militer U Ne Win mengambil alih pemerintahan
Burma. Rezim milter Thein Sein yang kini berkuasa juga menolak memberikan
kewarganegaraan Myanmar kepada Rohingya. Lebih buruk lagi ia memasukkan
Rohingya pada daftar hitam.
Sejatinya,
etnis Rohingya tidak sekali-kali ingin merdeka dan memisahkan diri dari Union
of Myanmar.Mereka hanya ingin diakui sebagai bagian warga negara Myanmar
yang berhak hidup bebas dari rasa takut dan kemiskinan. Saai ini Populasi orang
Rohingya diprediksi sekitar 1,5 juta-3 juta jiwa. Dimana 800.000-an tinggal di
Arakan dan sisanya menyebar di banyak negara. Banyak orang Rohingya yang
mengungsi dan mencari perlindungan ke negeri seberang dengan menjadi “manusia
perahu” .sedangkan, mereka yang bertahan di Arakan tidak sedikit yang menjadi
korban “pembersihan etnis”.
Undang-Undang
Kewarganegaraan Burma tahun 1982 telah meniadakan Rohingya sebagai etnis yang
diakui di Myanmar.Selanjutnya peniadaan ini adalah juga bermakna penghilangan
dan pembatasan hak etnis Rohingya dalam hal hak untuk bebas bergerak dan
berpindah tempat; hak untuk menikah dan memiliki keturunan; hak atas
pendidikan; hak untuk berusaha dan berdagang; hak untuk bebas berkeyakinan dan
beribadah; serta hak untuk bebas dari penyiksaan dan kekerasan.
Sedangkan,
kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity) yang dialami
oleh etnis Rohingya antara lain: pembunuhan massal dan sewenang-wenang;
pemerkosaan; penyitaan tanah dan bangunan; penyiksaan; kerja paksa dan
perbudakan. Saat ini ada 1’5 juta orang Rohingya yang terusir dan tinggal
terlunta-lunta di luar Arakan/Myanmar. Kebanyakan mereka mengungsi di
Bangladesh, Pakistan, Saudi Arabia, Malaysia, Thailand, Indonesia dan
lain-lain.
Namun
kekerasan di Arakan terhadap etnis Rohinya ini mulanya tidak diketahui oleh
dunia.Hanya media-media lokal yang antimuslim yang dapat beroperasi dan
menyebarkan informasi-informasi yang palsu.Petugas kemanusiaanpun banyak yang
dihalangi untuk ke Arakan bahkan di tangkap.Pemerintah Myanmar memberi
peringatan kepada PBB dan organ organnya, UNHCR dan lembaga-lembaga kemanusiaan
untuk melakukan kegiatan kemanusiaan di Arakan.Dengam minimnya media yang
independen dan informasi yang akurat, ekstrimis Rahkine amat leluasa untuk
melakukan kejahatan Genosida tanpa diketahui oleh public dunia.
Yang
memprihatinkan, president Myanmar Thein Sein menyatakan bahwa Iamenginginkan
supaya etnis Ronghiya dikelola oleh UNHCR saja atau ditampung di negara ketiga
yang mau menampungnya. Bahkan pemimpin oposisi Burma Aung San Suu Kyi tetap
diam tak bereaksi terhadap kasus Rohingya.Jiran terdekat Arakan yaitu
Bangladesh juga tidak menginginkan Pengungsi Rohingya yang meminta perlidungan
dari mereka.dan mengirim orang Rohingya untuk kembali ke laut, bahkan
lembaga-lembaga kemanusiaan Internasional penolong Rohingya dilarang beroperasi
di Bngladesh. Akhirnya nasib pengungsi tersebut sama halnya dengan nasib orang
Rohingya yang tinggal di Arakan.
Systematical
operational yang dijalankan pemerintah untuk mengeliminasi
etnis Rohingya adalah dengan melibatkan kelompok ekstrimis Budha 969.Kelompok
ekstrimis ini dalam perjalanannya telah mengancam dan melanggar hak asasi
manusia etnis etnis minoritas di Myanmar, terutama etnis Rohingya. Terlebih
sekarang semakin semakin nyata upaya eliminasi sistematis yang dilakukan
pemerintah, dimana baru-baru ini muncul Rohingya Elimination Group (kelompok
Pengeliminasi Rohingya) di Myanmar yang tentu saja di dalangi oleh kelompok
Ekstrimis 969.
1.
Status
Kewarganegaraan Rohingya
Rohingya adalah salah-satu etnis muslim
minoritas yang berasal dari Myanmar yang kita ketahui mendapatkan perlakuan
diskriminatisi dari pemeintahan Myanmar.
Pada tahun 1948-1962 saat pemerintahan U Nu
berkuasa diBurma, Etnis Rohingya diakui secara legal maupun politis sebagai
etnis yang eksis di Myanmar. Bahkan, sebelum tahun 1962, sultan Mahmud, seorang
etnis Rohingya, juga pernah menjadi anggota dan sekretaris parlemen Myanmar.
Lebih dari itu, bahasa Rohingya juga pernah menjadi salah satu bahasa pengantar
di Burmese Broadcasting Service di Era pemerintahan U Nu sebelum tahun 1962.
Ketika
pemerintahan U Ne Win berkuasa pada tahun 1962, mulailah terjadi peminggiran
dan pengingkaran terhadap eksistensi Rohingya di Negara Burma (Myanmar).
Berbagai macam operasi militer dan keamanan dilakukan yang berbuah pada
penghilangan nyawa, penculikann, penghancuran rumah dan rumah ibadah,
penyiksaan fisik dan pemerkosaan, perbudakan, penyitaan harta benda, dsb.
Puncak
deskriminasi yang didapatkan etnis ini adalah ketika dihapuskannya etnis ini
dari undang-undang kewarganegaraan Myanmar pada tahun 1982. Undang-undang
kewarganegaraan ini mencatat 135 etnis yang diakui secara otomatis menjadi
warga Negara Myanmar dan etnis Rohingya tidak termaksud kedalam 135 etnis
tersebut. Akibat dari penghapusan ini, etnis Rohingya tidak mendapat hak-hak
dasar sebagai waarga Negara Myanmar.
Yang lebih menyedihkan adalah perlakuan diskriminasi ini tidak hanya dilakukan
oleh pemeintah tetapi juga oleh warga Negara Myanmar yang pro pemerintah, yang
mempunyai keyakinan bahwa etnis Rohingya bukanlah bagian dari Myanmar.
Permasalahan
yang mendasar dari diskkriminasi yang terjadi pada etnis ini masih menjadi
pertanyaan. Apakah ini hanya sebatas
perbedaan etnis, politik atau bahkan unsure agama pun menjadi pertanyaan yang
besar didalamnya. seperti yang kita ketahui bahwa etnis Rohingya ini berbeda
dengan etnis lainnya yang ada di Myanmar. Perbedaannya terlihat jelas dari segi
fisik dimana etnis rohingya ini berkulit hitam lebih mirirp dengan orang India
atau Bangladesh.
Pemerintah Myanmar berkeyakinan bahwa etnis
Rohingya itu sebenarnya berdarah Bengali karena memang tempat tinggal mereka
berbatasan langsung dengan Bangladesh, sehingga jika sekarang tidak diakui
sebagai warga Negara Myanmar maka mereka masih menjadi tanggung jawab
pemerintah Bangladesh. Sedangkan penolakan terjadi dari pihak pemerintah
Bangladesh dan juga etnis Rohingya itu sendiri.
Pemerintah
Myanmar tidak lagi mengakui Rohingya sebagai warga Negara (stateless) dan sebagai
etnis yang eksis di Myanmar. Myanmar sendiri memiliki sistem kewarganegaraan
bertingkat didasarkan pada bagaimana leluhur seseorang itu diperoleh yaitu
antara lain:
1.
Warga
Negara penuh adalah keturunan dari penduduk yang tinggal di Myanmar sebelum
1823 atau lahir dari orang tua yang adalah warganegara Myanmar pada saat lahir.
2.
Warga
asosiasi adalah mereka yang memperoleh kewarganegaraan melalui Union
Citizenship law 1948.
3.
Warga
naturalisasi mengacu kepada orang-orang yang tinggal di Myanmar sebelum 4
Januari 1948 dan mengajukan kewarganegaraan setelah 1982.
Akar konflik dimyanmar adalah kekerasan Negara
atau kekerasan yang disponsori, difasilitasi dan diamini Negara. Perbedaan
etnis dan agama menjadi komoditas untuk memicu dan melestarikan kekerasan
Negara tersebut. Deskriminalisasi, intoleansi dan xenophobia adalah produk dari
kekerasan Negara yang target utamanya adalah peminggiran etnis Rohingya dari
Union of Myanmar melalui serangkaian program burmanisasi atau kebijakan yang
dianut oleh Burma/ Myanmar.
Presiden
Myanmar Thein sein sendiri telah memperburuk krisis rohingya arakan dengan
menyatakan bahwa “Rohingya are not our people and we have no duty to protect
them”. Ia menginginkan supaya etnis Rohingya ini dikelola oleh UNHCR saja
atau ditampung dinegara ketiga yang mau menampungnya.
Yang perlu
diketahui dalam kasus rohingya adalah bahwa sejatinya etnis rohingya tidak
sekali-kali ingin merdeka dan memisahkan diri dari Union of Myanmar (Negara
Myanmar). Meraka hanya ingin diakui sebagai bagian dari warga Negara Myanmar
yang berhak untuk hidup bebas dari rasa takut dan kemiskinan. Bebas bergerak
dan berpindah kemanapun serta bebas berekspresi, beribadah dan menjalankan
keyakinan agamanya. Suatu keinginan yang amat wajar sebagai warga dalam sebuah
Negara.
Akan
tetapi Undang-undang Kewarganegaraan Burma tahun 1982 telah meniadakan Rohingya
sebagai etnis yang diakui di Myanmar. Selanjutnya peniadaan ini adalah juga
bermakna penghilangan dan pembatasan hak etnis Rohingya dalam hal hak untuk
bebas bergerak dan berpindah tempat, hak untuk menikah dan memiliki keturunan,
hak atas pendidikan, hak untuk berusaha dan berdagang, hak untuk bebas
berkeyakinan dan beribadah, serta hak untuk bebas dari penyiksaan dan
kekerasan.
2.
Manusia
Perahu (Boat People)
Kejahatan
terhadap kemanusiaan yang dialami oleh etnis Rohingya antara lain: pembunuhan
massal dan sewenang-wenang, pemerkosaan, penyiksaan, penyitaan tanah dan
bangunan, kerja paksa dan perbudakan, relokasi secara paksa, dan pemerasan.
Akibat
dari kekerasaan structural yang berlangsung begitu panjang, maka warga Rohingya
terpaksa mengungsi dan menjadi “Manusia Perahu”, Mencari negeri aman yang mau
menerima mereka di Asia Tenggara atau di negeri manapun diseluruh dunia. Ketakutan
akan ancaman berselimutkan teror-teror penindasan membuat Muslim Rohingya pun
tidak nyaman dengan kondisi tersebut sehingga tidak ada pilihan selain keluar
dari negaranya dan menyelamatkan diri kenegara lain. Dalam perjalanan
mengarungi lautan luas dengan berbekal makanan seadanya mereka terkadang
mangalami banyak halangan dan rintangan. Polisi internasional yang menjaga
perbatasan tidak jarang mengambil persediaan makanan mereka, bahkan juga
mengambil bahan bakar perahu mereka yang akhirnya mereka terapung-apung
dilautan dan terdampar dibeberapa Negara, seperti Indonesia, Malaysia atau
Thailand.
Pada
akhir tahun 2008 banyak warga Rohingya terusir dari negerinya dan menjadi
manusia perahu (Boat People), mencari keselamatan ke negeri lain. Tidak jarang
para manusia perahu itu tenggelam ataupun mati karena kelaparan dan kehausan
ditengah laut. Banyak pula ditahan atau diperlakukan semena-mena
dinegara-negara transit atau Negara-negara penerima mereka. Mereka menempuh
perjalanan laut yang berbahaya dari Myanmar selama 23 hari dengan perahu buntut
dan makanan yang tidak mencukupi. Satu perahu buntut tersebut dinaiki oleh 121
orang.
Dan
akhirnya merekapun banyak yang meninggal ditengah laut. Tidak hanya itu, mereka
juga ditembaki ketika melewati perairan Thailand misalnya. Banyak yang selamat,
tapi tidak sedikit yang tewas tertembak, dimana mereka digiring kesebuah pulau
yang tidak yang tidak berpenghuni, mesin-mesin boat dicopot, makanan dan
minuman diambil, dan akhirnya dilepas kembali ketengah laut dengan minuman dan
makanan yang sangat sedikit.
Manusia
Perahu dan Tanggung jawab Dunia
Sekitar Bulan Desember 2008,
1200 warga Rohingya meninggalkan Myanmar, sebagian kecil diselamatkan
oleh warga Indonesia dan ditampung sementara di Aceh. Tanggal 11/02/2009
nelayan asal Aceh menyelamatkan 220 “manusia perahu”. Bulan Juli 2012 Indonesia mendapati lagi 82 pengungsi
Rohingya (13 diantaranya anak-anak) terdampar di kepulauan Riau dan kini di
tahan di Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Tanjung Pinang. Saat bersamaan ada
sekitar 300.000 pengungsi yang lari ke Bangladesh, Thailand, Malaysia, Pakistan,
India , Timur Tengah, Jepang dll.
Namun kondisi warga Rohingya di pengungsian sama mengenaskan-nya
dengan saudaranya yang berada di Arakan. Dimana-mana mereka disebut pendatang
haram maupun pendatang illegal. Presiden Myanmar Thein Sein sudah mengatakan di
forum internasional pada juli 2012 supaya Rohingya mencari negara lain saja
atau PBB mencarikan tempat penampungan lain di luar Myanmar.
Kondisi seperti ini sudah seharusnya ada pihak yang bertanggung
jawab, Yaitu :
1.
Tanggungjawab pertama jelas terletak pada Negara Myanmar yang sejak awal berdirinya
telah menegasikan eksistensi bangsa Rohingya. Termaksud yang wajib
memperjuangkan warga Rohingya adalah pemimpin perjuangan demokrasi Myanmar,
anak kandung Myanmar Bogyoke Aung San, yaitu Daw Aung San suu kyi. Karena
memperjuangkan Myanmar yang bebas berkeadilan takkan sempurna tanpa mengakui
eksistensi warga Rohingya dan warga minoritas lainnya yang hidup di Myanmar
jauh sebelum Negara tersebut merdeka dari jajahan Inggris.
2.
Tanggung jawab kedua adalah pada badan-badan
internasional seperti PBB dan ASEAN. Karena Myanmar adalah negara anggota PBB
maupun ASEAN. Bahkan Sekjen PBB pernah berasal dari Myanmar (U Thant,
1961-1971) dan tahun ini Myanmar memegang tampuk kekuatan ASEAN.
3.
Tanggung jawab Ketiga adalah negara-negara tetangga yang berdekatan. Seperti Bangladesh,
India, Thailand, Malaysia, hingga Indonesia.
Namun tidak semua negara mau menampung mereka, padahal dalam Konvensi
tentang status pengungsi 1951 menyebutkan bahwa negara penerima tidak boleh
menolak dan mengembalikannya pengungsi/pencari suaka ke negerinya ketika
kondisi di negerinya membahayakan untuk keselamatan para pengungsi tersebut.
4.
Tanggung jawab keempat adalah pada negara-negara berpendudukan
muslim. Warga Rohingya adalah muslim yang sejarah keislamannya sudah
berlangsung sejak abad ke 14 M. Dan sampai kini mereka muslim dan tetap
bersemangat dalam ibadah. Walaupun masjid dan mushala yang ada dihancurkan dan
otoritas yang berkuasa melarang pembangunan masjid yang baru. Negara-negara
berpendudukan muslim dan anggota OKI (organisasi Konferensi Islam), seharusnya
mengambil peran yang lebih efektif dan positif terhadap muslim Rohingya.
Uniknya hanya sedikit para pengungsi tersebut untuk memilih mengungsi ke
negeri-negeri muslim yang lain. Mereka mencari suaka ke negeri-negeri barat
yang notabene sekuler.
3.
Mengurai
Akar Masalah
Konflik
yang berkepanjangan antara penduduk Rakhine dan Rohingya di Arakan daan bahkan
untuk muslim di Myanmar, bahwa penyebab timbulnya konflik dan mengapa konflik
tersebut tidak terselesaikan adalah kerna beberapa factor.
1.
Faktor
pertama, Faktor SARA, bahwasannya pemerintah tidak mengakui Rohingya sebagai
etnis Myanmar karena mereka keturunan Bengali (Bangladesh). Disamping itu,
kelompok 969 melakukan provokasi kebencian terhadap Islam dengan mengatakan
bahwa Islam adalah ancaman buat umat Budha. Mereka menyatakan bahwa mereka
khawatir Myanmar akan seperti Indonesia, yang dahulunya Negara dengan kerajaan
hindu-Budha dan sekarang menjadi Negara islam mayoritas dan terbesar didunia.
Hal ini menurut mereka ancaman serius sehingga islam harus dieliminasi dari
bumi Myanmar. Mereka menganggap bahwa Burmese Buddhist adalah raja dan
selainnya adalah budak. Sehingga Burmese Buddhist harus kembali dengan
kodratnya sebagai raja dinegeri Myanmar.
2.
Faktor
kedua, Faktor ekonomi, bahwasannya sendi-sendi perekonomian Myanmar dikuasai
oleh pembisnis dan pedagang muslim dengan kedai-kedainya yang menggunakan
simbolnya 786 (basmallah), sehingga kondisi ini menimbulkan ketegangan social.
Kelompok ekstrimis kemudian mendirikan kelompok 9699 untuk men-counter
perkembangan perekonomian muslim di Myanmar, dengan cara menghancurkan
kedai-kedai 786 milik muslim di Arakan dan Meikhtilla. Disamping itu, wilayah
Arakan kaya akan sumber gas dan sumber daya alam lainnya, yang menjadi
perebutan Negara-negara adidaya. Dimana untuk tahun 2010-2014 telah dibangu
proyek pipa gas sepanjang 2400 km dari arakan ke China. Pemerintah Myanmar
sangat mempunyai kepentingan atas sumber daya alam melimpah dibumi Arakan
tersebut.
3.
Ketiga,
factor social budaya, bahwasannya banyak wanita Myanmar yang menikah dengan
lelaki muslim dan kemudin mualaf. Kelompok ekstimis dan pemerintah tidak
meyukai hal tersebut dan mencoba meng counter-nya dengan cara melarang wanita
Myanmar tersebut dan memenjarakan lelaki muslim yang menikahinya. Disamping
itu, kebiasaan kebanyakan lelaki Myanmar (Buddist) suka mabuk dan tidak saying
terhadap istri dan keluaraga. Sehingga hal tersebut menjadi alas an wanita
Myanmar lebih suka menikah dengan lelaki muslim yang memiliki sifat sebaliknya.
4.
Keempat,
factor politik, bahwasannya konflik yang ada di Arakan merupakan proyek bagi
pemerintah sehingga konflik tersebut sengaja dipelihara untuk mendapat
keuntungan dari proyek tersebut. Disamping itu, Myanmar akan menjelang
pemilihan umum pada tahun 2015, sehingga konflik ini sengaja dipelihara oleh
elit politik dan pemerintah untuk kepentingan pemilu dalam mencari dukungan
dari buddist. Konflik ini juga tak lepas dari campur tangan Negara adikuasa
yang tidak mendapatkan “kue” diarakan karena sejauh ini china yang menikmati
gas dan kekayaan alam arakan. Terbukti sudah berjalan proyek pipa gas diArakan
yang dimulai tahun 2010-2014 sepanjang 2400km dari kyauphyu sampai kumin menuju
China.
4.
Usaha
PBB Terhadap kasus Rohingya
Sebenarnya PBB dalam hal ini telah mengutus
UNHCR untuk datang ke Myanmar dalam mengatasi etnis Rohingya yang masih berada
di kawasan Myanmar sebagai bentuk perhatian masyarakat internasional atas kasus
Rohingya. Banyak sekali bantuan yang dilakukan oleh UNHCR pada etnis ini
seperti mengadakan pendidikan informal, membangun camp pengungsian
kesehatan dan masih banyak lainnya.
Tetapi, peran UNHCR disini hanyalah sebagai
pembantu saja dan bersifat sementara, mereka tidak dapat menebus kebijakan yang
diambil pemerinta Myanmar. Hal ini dibuktikan dengan permasalahan Rohingya
sampai saat ini masih tetap ada sejalan dengan masih eksisnya bantuan dari UNHCR
di Myanmar.
Tetapi keberadaan UNHCR di Myanmar sejak tahun
‘90an membuktkan bahwa usaha yang dilakukan oleh PBB dimulai dari dalam negeri
myanmar itu sendiri. Mereka mencoba untuk memenuhi kebutuhan dasar etnis ini
yang masih berada dalam wilayah kedaulatan Myanmar. Tetapi kembali lagi, usaha
yang dilakukan oleh PBB ini tidak dapat mencegah perlakuan diskriminasi yang
dilakukan pemerintah Myanmar sehingga etnis Rohingya tetap melarikan diri ke
luar wilayah Myanmar.
Apa
yang dilakukan indonesia dan Malaysia untuk menampung etnis Rohingya adalah
berdasarkan asas non-refoulement dimana suatu Negara tidak boleh mengusir
pencari suaka yang datang kenegaranya. Asas ini diatur dalam convention
Relating to the Status of Refugees tahun 1951. Walaupun sebenarnya kasus
Rohingya ini lebih berkaitan dengan Covention Relating to the status of
stateless persons tahun 1954, haruslah kita perhatikan bahwa dalam preambul
konvensi 1954 ini dijelaskan bahwa adanya konvensi 1954 ani adalah untuk
melindungi pengungsi yang disisi lain tidak memliki kewarganegaraan. Sehingga
asas yang ada dalam konvensi 1951 dapat juga digunakan. Selain itu asas nonrefoulement
ini sudah menjadi jus cogens maka telah melaggar kesepakatan secara
internasional.
Sebenarnya,
permasalahan kasus Stateless Peersonss sudah diatu dalam Convvention Relating
to the Status of Stateless Person tahun 1954 dan covensi on the Reduction of
Stateless tahun 1961. Banyak sekali hak-hak daasar yang diaur dalam koncensi
1954. Salah-satu pasalnya menyatakan bahwa perlakuan yang didapatkan stateless
persons tidak boleh membedakan mereka dengan warga Negara lainnya. Seperti
mendapatkan pendidikan, pekerjaan, perlindungan hokum dan masih banyak lainnya.
Tetapi, ketentuan dari kovensi hanya
berlaku bagi Negara peserta yang telah meratifikasi. Sehingga kewajiban untuk
memberikan hak yang telah tertera dalam konvensi ini hanya berlaku bagi Negara
peserta saja.
Selain
itu juga kovensi ini hanya berlaku pada saat Stateless persons sudah berada
dinegara peserta, sehingga hak-hak stateless persons pada saat sebelum berda
dinegara peserta belumlah menjadi tangungjawab Negara peserta. Inilah yang
terjadi pada etnis Rohingya pada saat inni, jika memang mereka sudah berada
dinegara peserta maka secara otomatis mereka akan diurusi oleh Negara perserta,
tetapi permasalahannya adalah kini kebanyakan dari mereka yang berhasil
melarikan diri dari Myanmar hanya sanggup sampai Negara sekitar Myanmar.
5.
Sikap Indonesia Terhadap Pengungsi Rohingya
Namun terkait Indonesia
sendiri ada beberapa permasalahan yang mucul mengenai warga Rohingya yang
berada di Indonesia, permasalahan pertama yang muncul dari dalam antara lain
bahwa Indonesia sampai saat ini belum memiliki regulasi yang jelas mengenai
penanganan pengungsi internasional dan Indonesia bukan termasuk Negara anggota
peratifikasi Konvensi Wina tahun 1951 dan protokolnya tahun 1967 tentang status pengungsi sehingga Indonesia
tidak mempunyai kewajiban dan kewenangan untuk mengambil tindakan internasional
terhadap imigran Rohingya yang masuk ke Indonesia.
Implikasinya, Indonesia
hanya bisa menampung para imigran tersebut sampai batas waktu maksimal 10
(sepuluh) tahun.Terlebih lagi Indonesia di dalam undang keimigrasiannya tidak
mengenal istilah pencari suaka maupun pengungsi. Sehingga semua orang asing
yang datang ke Indonesia (pencari suaka, pengungsi, atau pelaku kejahatan) yang
tidak memiliki dokumen resmi maka dikualifikasikan sebagai imigran gelap dan mereka yang tertangkap
ditahan di RUDENIM (Rumah Detensi Imigran) yang sama.
Dari hasil penulusuran
mengapa Indonesia belum mau meratifikasi Konvensi Wina, bahwa prinsip yang
melekat dalam sistem Keimigrasian Indonesia seharusnya adalah orang-orang yang
memberi manfaat bagi Indonesia, dan bukan sebaliknya. Indonesia khawatir bahwa
jika meratifikasi Konvensi tersebut akan berdampak pada stabilitas keamanan dan
para Imigran akan berbondong-bondong datang ke Indonesia untuk mencari suaka.
Dalam prakteknya, meskipun
tidak meratifikasi Konvensi Wina 1951, Indonesia mengimplementasikan dalam
beberapa peraturan administratifnya mengenai penanganan pengungsi secara
subtansial yaitu antara lain Surat Edaran Perdana Menteri No. 11/RI/1956
tanggal 7 September 1956 tentang Perlindungan Pelarian Politik, Keputusan Presiden
N0. 38 Tahun 1979 tentang Koordinasi Penyelesaian Masalah Pengungsi Vietnam,
Keputusan Presiden No. 3 Tahun 2001 tentang Badan Koordinasi Penanggulangan
Bencana dan Penanganan Pengungsi, dan Keputusan Menteri Kehakiman dan HAM RI
Nomor: M.05.H.02.01 Tahun 2006 Tentang Rumah Detensi Imigran.
Selain permasalahn dari
dalam, permasalahan dari luar juga muncul, yaitu antara lain:
a.
Sulitnya proses pemulangan ke Myanmar karena kondisi keamanan yang
semakin buruk;
b.
Kedutaan Myanmar di Indonesia sama sekali tidak peduli dan tidak
mengakui Rohingya sebagai warga Negara Myanmar;
c.
Rohingya tidak mempunyai paspor sehingga menjadi kendala dalam
proses assessment untuk menjadi pengungsi internasional ;
d.
Rohingya tidak mau dipulangkan karena kondisi keamanan Myanmar;
e.
Belum ada negara ketiga yang mau menampung pengungsi Rohingya;
f.
Lamanya rohingya ditampung di Indonesia menjadi beban Negara;
g.
Banyak Rohingya yang memiliki kartu pengungsi UNHCR palsu;
h.
Imigran Rohingya tidak bisa berbahasa Melayu maupun Inggris
sehingga sulit dalam melakukan tindakan keimigrasian.
6.
Perlindungan Terhadap Etnis Rohingya dalam
Hukum Internasional
Sebenarnya, PBB dalam hal ini telah mengutus UNHCR untuk datang ke
Myanmar dalam mengatasi etnis Rohingya yang masih berada di kawasan Myanmar
sebagai bentuk perhatian masyarakat internasional atas kasus Rohingya. Banyak
sekali bantuan yang dikeluarkan oleh UNHCR pada etnis ini seperti mengadakan
pendidikan informal, membangun camp pengungsian, kesehatan, dan masih
banyak lainnya.
Tetapi, peran UNHCR disini hanyalah
sebagai pembantu saja dan bersifat sementara, mereka tidak dapat menembus
kebijakan yang diambil pemerintah Myanmar.Hal ini dibuktikan dengan
permasalahan Rohingya sampai saat ini masih tetap ada sejalan dengan masih
eksisnya bantuan dari UNHCR di Myanmar.
Tetapi keberadaan UNHCR di Myanmar
sejak tahun 90-an membuktikan bahwa usaha yang dilakukan oleh PBB dimulai dari
dalam negeri Myanmar itu sendiri, mereka mencoba memenuhi kebutuhan dasar etnis
ini, tetapi kembali lagi, usaha yang dilakukan PBB ini tidak dapat mencegah
perlakuan diskriminasi yang dilakukan pemerintah Myanmar sehingga etnis Rohingya
tetap melarikan diri ke luar wilayah Myanmar.
Myanmar adalah negara anggota PBB
sejak tanggal 4 april 1948. Myanmar belum meratifikasi Konvenan-Konvenan
penting tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Namun, sebagai bagian dari anggota
PBB, Myanmar berkewajiban menghormati ketentuan-ketentuan yang ada dalam Universal
Declaration of Human Rights (UDHR) atau
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Piagam PBB.
Banyak ketentuan dalam UDHR yang telah
dilanggar oleh pemerintah Myanmar, diantaranya, Hak Hidup (Pasal 3) untuk tidak
disiksa (Pasal 5), atas setiap orang atas kewarganegaraan (Pasal 15) dan ha
katas setiap orang untuk memilki sesuatu (Pasal 17). Selain pelanggaran
terhadap ketentuan UDHR tersebut, Myanmar sbagai anggota PBB memiliki kewajiban
untuk menjaga perdamaian dan keamanan dunia sebagaimana ditegaskan dalam Piagam
PBB.
Sementara itu wakil Organization of
Islamic Cooperation (OIC) di PBB
mendesak PBB untuk menekan pemerintahan Myanmar agar menyelesaikan
konflik Rohingya. Myanmar tidak dapat bergabung dengan komunitas demokratis
negara-negara lain jika tidak melindungi hak-hak minoritas di negerinya ujar
para wakil OIC.
Secara
khusus, Indonesia sebagai anggota OKI berkepentingan mendesak PBB untuk memberi
sanksi tegas terhadap pemimpin Myanmar dengan mengajukan ke International Criminal Court
(ICC) atas tuduhan upaya genosida secara sistematis terhadap Muslim Rohingya.
Tragedi kemanusiaan yang menimpa Muslim Rohingya diMyanmar jelas merupakan
amanat penderitaan Muslim internasional sebagai spirit kemanusiaan atas nama
ketidakadilan yang merampas hak-hak kemanusiaan.
ASEAN
juga sebenarnya sudah mengadopsi prinsip-prinsip penegakan hak asasi manusia
melalui dibentuknya ASEAN Intergovermental Commission on Human Rights (AICHR)
padatahun 2009.
Namun kembali lagi bahwa tidak banyak yang dapat dilakukan
masyarakat internasional dalam menangani masalah Rohingya.Kedaulatan suatu
negara sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat internasional.Sehingga
masyarakat internasional tidak dapat melakukan intenvensi terhadap Myanmar
karena mereka memilki kedaulatan mereka sendiri.Terlebih lagi pemerintah
Myanmar sangatlah tertutup mengenai permasalahan seperti ini.
7. Pembersihan
Etnis Sebagai Kejahatan Genosida
Kekerasan yang terjadi di Myanmar terhadap
etnis Rohingya membuktikan tidak semudah yang diharapkan dunia Internasional
terhadap penghapusan Kejahatan Internasional, dimana Konvensi yang mengatur
mengenai Genosida sudah diberlakukan dan Peradilan Pidana Internasional sudah
didirikan; namun Kejahatan Internasional tetap saja terjadi bahkan dengan
berbagai macam cara.
Dalam dunia Internasional, masalah Genosida
sudah ada aturan bakunya di mana pada tanggal 09 Desember 1948, satu hari
sebelum The Universal Declaration of Human Righ (UDHR) diumumkan, sidang
umum PBB secara mutlak menerima Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman
Kejahatan Genosida, sebagai Instrumen Internasional Hak Asasi Manusia yang
pertama.
Genosida tergolong sebagai kejahatan
Internasional (Internasional Crime), seperti halnya kejahatan perang (war
crime), kejahatan terhadap Kemanusiaan (Crime Against Humanity); kejahatan
Agresi (Crime of Agression). Merupakan kewajiban seluruh masyarakat
Internasional untuk mengadili ataupun menghukum pelakunya.Tujuan Konvensi
Genosida dirumuskan dengan kehendak untuk melawan dan mencegah terulangnya
Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat (gross violence of human rights), yang
terjadi pada perang dunia II.
Dalam pasal 6 Konvensi Genosida
menyebutkan bahwa orang yang melakukan Genosida atau tindakan lain akan diadili
oleh Pengadilan yang berkompeten oleh Negara dimana Pengadilan pidana
internasional yang berwenang dan yuridiksinya diterima oleh Negara Pihak.
Dalam Pasal 2 Konvensi Genosida menyatakan:
setiap dari perbuatan-perbuatan berikut yang dilakukan dengan tujuan merusak
begitu saja, dalam keseluruhan ataupun sebagian, suatu kelompok bangsa, etnis,
rasial, atau agama seperti:
a.
Membunuh para anggota kelompok;
b.
Menyebabkan luka-luka pada tubuh atau mental para anggota kelompok;
c.
Dengan sengaja menimbulkan pada kelompok itu kondisi hidup yang
menyebabkan kerusakan fisiknya dalam keseluruhan atau sebagian;
d.
Mengenakan upaya-upaya yang dimaksudkan untuk mencegah didalam
kelompok itu;
e.
Dengan paksa mengalihkan anak-anak dari kelompok itu ke kelompok
lain.
Dalam Konvensi genosida menegaskan siapa-siapa
saja yang dapat dikatakan melakukan tindakan genosida sebagaimana diatur pasal
4 Konvensi yang menyatakan orang-orang yang melakukan genosida atau setiap
perbuatan lain yang disebut dalam pasal 3 harus dihukum, apakah mereka para
penguasa yang bertanggung jawab secara Konstitusional, para pejabat Negara,
atau individu-individu biasa.
Maka sudah ssatnya dunia Internasional
terlibat aktif dalam menangani pembersihan etnis yang mengarah kepada Kejahatan
Genosida di Myanmar yang semakin lama semakin meluas. Apabila dunia
Internasional tidak mensikapi kedukaan etnis Rohingya ini secara serius, bukan
tidak mungkin suatu waktu etnis Rohingya tidak akan dijumpai lagi dalam peta
dunia, karena mereka stateless (tidak diakui kewarganegaraannya)forgetten(dilupakan).
8.
Pencari Suaka dan Pengungsi dalam Hukum
Internasional
·
Pengertian Pencarian Suaka
“Suaka adalah tempat perlindungan yang diberikan oleh suatu Negara
di wilayah atau di tempat lain yang berada dibawah pengawasan organnya, kepada
seseorang yang datang memintanya”
Peraturan
tentang Pencari Suaka ini ada dalam berbagai peraturan, bahkan termasuk Pasal
28 G UUD 1945 yang menyatakan hak seseorang untuk mencari suaka di negara lain
dan TAP MPR No. XVII.MPR/1998 yang mengakui keberadaan DUHAM termasuk Pasal 24 tentang hak seseorang untuk
mencari suaka di negara lain. Selain itu pengaturan tentang suaka ini juga
secara eksplesit diatur dalam Undang-Undang, yaiyu UU pengesahan Conventtion
Agaisnt Torture (CAT) dan UU Hubungan Luar Negeri (Hublu).
Lemabaga suaka memiliki karakteristik:
1.
Suaka bukan sesuatu yang
dapat diklaim oleh seseorang sebagai hak;
2.
Hak seseorang hanya terbatas pada mencari suaka dan kalau
memperolehnya, menikmatinya;
3.
Pemberian asal pencari atau penolakan suaka adalah hak
negara-negara berdasarkan kedaulatannya;
4.
Pemberian suaka merupakan tindakan yang harus diterima sebagai
tindakan damai dan humaniter, oleh karenanya pemberian suaka oleh suatu negara
tidak boleh dipandang sebagai tindakan tidak bersahabat terhadap negara asal
pencari suaka;
5.
Suaka mengandung prinsip penghormatan pada asas-asas sebagai
berikut:
a.
Larangan pengusiran
b.
Larangan pengambilan paksa ke negara asal
c.
No ekstradisi pesuaka
6.
Bilamana suatu negara mengalami kesulitan untuk memberikan suaka kepada seseorang
secara permanen, atau jangka waktu panjang, negara tersebut setidak-tidaknya
harus bersedia memberikan suaka kepada pencari suaka yang bersangkutan untuk
sementara waktu sampai ia memperoleh suaka di negara lain;
7.
Suaka tidak boleh diberikan dalam kasus-kasus tindak pidana dan
tindakan yang bertentangan dengan asas-asas PBB;
8.
Pemberian suaka yang mengandung ketentuan yang mewajibkan pesuaka
untuk tunduk pada hukum dan peraturan perundang-undangan negara pemberi suaka;
9.
Pesuaka tidak boleh melakukan kegiatan yang bersifat menentang
negara asalnya atau yang dapat mengakibatkan ketegangan-ketegangan negara
pemberi suaka dan negara asal pesuaka.
·
Pengertian Pengungsi
Pengungsi
adalah seseorang yang mempunyai rasa takut yang benar-benar beralasan karena
rasnya, agamanya, kebangsaannya, keanggotaanya dalam kelompok sosial tertentu
atau pandandangan politiknya berada di luar negara asalnya dan tidak dapat
memanfaatkan perlindungan negara asalnya atau kembali ke negera tersebut karena
takut terhadap persekusi.
1.
Hak- hak pengungsi:
Konvensi status pengungsi Tahun 1951
memberikan ketentuan tentang hak-hak fundamental pengungsi, diantaranya:
1.
Hak hidup, kemerdekaan dan keamanan pribadi;
2.
Hak mencari dan menikmati suaka;
3.
Kebebasan dari penyiksaan atau perlakuan atau penghukuman yang
kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat kemanusiaan;
4.
Kebebasan dari perbudakan dan perhambaan;
5.
Pengakuan secara pribadi di depan hukum;
6.
Kebebasan pikiran, keyakinan dan agama;
7.
Kebebasan dari penangkapan dan penahanan sewenang-wenang;
8.
Kebebasan dari intervensi sewenang-wenang dalam privasi rumah dan
keluarga;
9.
Kebebasan pendapat dan menyatakan pendapat;
10. Hak memperoleh pendidikan dan hak ikut serta
dalam kehidupan komunitas.
Pengungsi berhak
untuk mendapatkan perlindungan (suaka) yang aman, yang bukan hanya sebatas pada
perlindungan fisik.Setidak-tidaknya pengungsi harus mendapat hak-hak sipil yang
mendasar sebagaimana pemukim yang sah yang tinggal di negara tersebut, seperti
hak tidak disiksa, ha katas kebebasan beragama, kebebasan berfikir dan
bergerak.
Adapun kaitannya
dengan hak ekonomi dan sosial, pengungsi berhak mendapatkan akses pelayanan
kesehatan, memperoleh pekerjaan, dan bersekolah bagi khususnya pengungsi anak.
Namun apabila negara tersebut dan negara Internasional lainnya tidak sanggup
memenuhi standar dan bantuan sulit untuk
didapatkan, maka menjadi kewajiban UNHCR untuk memabntu dalam bentuk hibah
financial ataupun dalam bentuk bantuan yang lain seperti pendirian klinik,
sanitasi, mendirikan sekolah, dan sebagainya.
2.
Kewajiban Pengungsi:
Adapun kewajiban
pengungsi adalah mematuhi hukum dan peraturan dari negara pemberi suaka.
Sehingga apabila pengungsi melanggar hukum negara tersebut maka suatu hal yang
wajar apabila yang bersangkutan menjalani proses hukum sebagaimana warga asing
lainnya.
9.
Puncak Diskriminasi etnis
Rohingya
Menurut laporan The New Light of Myanmar ,
sebuah koran yang terbit di negara Myanmar tertanggal 4 Juni2012, konflik
Rohingya bermula dari sebuah pembunuhan seorang gadis Budha bernama Ma Thida
Htwe yang berumur 27 tahun, hidup di sebuah desa bernama Thabyechaung,
Kyauknimaw, daerah Yanbye,.Pada tanggal 28 Mei 2012 sore, Thida hendak pulang ke rumah setelah
seharian bekerja di sebuah Taylor. Tepat pukul 17:15 waktu setempat, ia ditikam
oleh orang yang tak dikenal di hutan Bakau samping jalan tanggul menuju
Kyaukhtayan, bagian dari desa Kyauknimaw dan Chaungwa.
Kasus ini dibawa ke pihak kepolisian dan
setelah penyelidikan ditetapkan beberapatersangka. Mereka adalah Htet Htet (a)
Rawshi, Rawphi, dan Khochi, Hasil investigasi menyebutkan bahwa Htet Htet (a)
Rawshi tahu rutinitas sehari-hari korban yang pulang-pergi antara Desa
Thabyechaung dan Desa Kyauknimaw untuk menjahit. Saat itu, dia sedang membutuhkan
uang untuk menikahi seorang gadis.Untuk itulah dia bersama kedua rekan
tersangka lainnya merampok perhiasan yang dikenakan seorang gadis tersebut dan
kemudian dibunuhnya.Berita ini menyebar luas dikalangan penduduk sekitar. Untuk
menghindari kerusuhan rasial, tim MPF yang memantau situasi di sana mengirim
ketiga pemuda tersebut ke penjara pada pukul 10:15 tanggal 30Mei.
Yang
terbit pada hari berikutnya, 5 Juni menyebutkan bahwa
beredar foto-foto hasil penyelidikan tim forensik bahwa
sebelum dibunuh, ternyata korban sempat diperkosa oleh ketiga pemuda
Bengali Muslim tadi. Korban juga digorok tenggorokannya, dadanya ditikam
beberapa kali dan organ kewanitaannya ditikam dan dimutilasi dengan
pisau.Foto-foto tersebut semakin menambah kemarahan warga yang beragama
Budha.Dengan dalih bahwa Rohingya bukanlah etnis asli Myanmar, meraka yang
terprovokasi melakukan penindasan-penindasan terhadap Rohingya.Mereka
tidak menginginkan kehadiran etnis tersebut di bumi Arakan.
Koran New Light Myanmar edisi
5 Juni 2013 memberitakan rincian mengenai pembunuhan sepuluh orang Burma Muslim
oleh massa Arakan sebagai beriku: “Sehubungan dengan kasus Ma Thida Htwe yang
dibunuh kejam pada tanggal 28 Mei, sekelompok orang yang terkumpul dalam
Wunthanu Rakkhita Association, Taunggup, membagi-bagikan selebaran sekitar jam
6 pagi pada 4 Juni kepada penduduk lokal ditempat- tempat ramai dTauggup,
disertai foto Ma Thida Htwe dan, memberikan penekanan bahwa massa Muslim telah
membunuh dan memperkosa dengan keji wanita Rakhine. Sekitar pukul 16:00,
tersebar kabar bahwa ada mobil yang berisikan orangMuslim dalam sebuah bus yang
melintas dari Thandwe ke Yangoon dan berhenti diTerminal Bus Ayeyeiknyein.
Petugas terminal lalu memerintahkan bus untuk berangkat ke Yangoon dengan
segera.Bus berisi penuh sesak oleh penumpang. Beberapa orang dengan mengendarai
sepeda motor mengikuti bus. Ketika bus tiba di persimpangan Thandwe-Taunggup,
sekitar 300 orang lokal sudah menunggu di sana dan menarik penumpang yang
beridentitas Muslim keluar dari bus.
Dalam bentrokan itu,
sepuluh orang Islam tewas dan bus juga hancur. Konflik
sejak insiden 10 orang Muslim terbunuh terus memanas di kawasanArakan, Burma,
muslim Rohingya menjadi sasaran. Seperti dilansir media Al-Jazeera, Halini
dipicu juga oleh bibit perseteruan yang sudah terpendam lama, yaitu perseteruan
antara kelompok etnis Rohingya yang Muslim dan etnis lokal yang beragama
Buddha.Rohingya tidak mendapat pengakuan oleh pemerintah setempat.Ditambah lagi
agama yang berbeda.Mereka menganggap etnis Rohingya itu "pendatang
haram" dari Bangladesh, walau fakta sejarahnya etnis Rohingya telah ada
ditanah itu (Rakhine state) selama ratusan tahun berdampingan dengan
burmanese lainnya.
Kemudian
konflik antar duakelompok tak
terhindarkan, terjadi saling bantai dan saling serang. Muslim Rohingya, karena
jumlahnya sedikit dan beratusan tahun terpinggirkan, ratusan desa muslim
dibakar dan dihancurkan dan sekitar 850-1000-an warga tewas. Sekitar 90.000-an
lainnya terusir atau tetap menetap dalam penderitaan. Itulah sekelumit fakta
konflik yang melanda Muslim Rohingya. Etnis Rohingya tidak diakui
pemerintah junta militer, mereka tak diberi kartu identitas
warga negara.